Pada beberapa negara,
koperasi seringkali disejajarkan dengan perusahaan swasta, akan tetapi prinsip
dasar dari berdirinya koperasi sebenarnya berbeda dengan perusahaan swasta.
Koperasi didirikan untuk memberikan manfaat untuk seluruh anggota dan masyarakat
setempat tanpa merugikan mereka. Sebagai lembaga ekonomi, koperasi juga
memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan. Namun, konteks keuntungan dalam
koperasi bukanlah keuntungan seperti yang dimaksudkan perusahaan-perusahaan
swasta. Keuntungan di dalam koperasi tercapai apabila anggotanya memperoleh
keuntungan dari kemudahan yang diperolehnya selama menjadi anggota. Intinya,
suatu koperasi akan dikatakan untung apabila berhasil meningkatkan kemakmuran
perekonomian anggotanya.
1.
Pengertian dan Jati Diri Koperasi
Menurut
Cooperative Identity Statement, International Cooperative Alliance (ICA) pada
tahun 1995 menyebutkan bahwa pengertian koperasi adalah sebuah perkumpulan
otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan
bersama ekonomi, sosial, dan kebutuhan dan aspirasi budaya melalui usaha
bersama yang dimiliki dan dikendalikan secara demokratis. Sedangkan menurut
Undang-Undang yang berlaku di negara kita sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hokum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas
asas kekeluargaan.
Dalam
beroperasinya, koperasi didasarkan pada nilai-nilai menolong diri sendiri,
tanggung jawab sendiri, demokrasi, kesetaraan, keadilan dan solidaritas. Para
anggota koperasi pun percaya pada nilai-nilai etis dari kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap orang lain. Selain itu, menurut International Cooperative Alliance (ICA),
koperasi memiliki empat asas pokok, yakni keanggotaan sukarela, satu anggota
memiliki satu suara, bunga atas modal terbatas, dan pembagian SHU sessuai
dengan partisipasi transaksi anggota dengan koperasinya.
Dalam
prakteknya, koperasi juga memiliki prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman.
Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) keanggotaan sukarela dan terbuka, (2)
Pengawasan secara demokratis oleh anggota, (3) Partisipasi ekonomi anggota, (4)
Otonomi dan kemerdekaan, (5) Pendidikan, pelatihan, dan informasi, (6)
Kerjasama antar koperasi dan (7) Kepedulian masyarakat.
2.
Perkembangan
Koperasi di Indonesia
Koperasi
pertama kali lahir pada tahun 1844 di Inggris. Kelahiran ini diawali oleh
sebuah kondisi ekonomi yang dianggap sudah tidak dapat lagi diterima pada saat
itu, yakni kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang bertumpu
pada kapital, dimana kapital menjadi sebuah faktor penting bagi berjalannya
perekonomian sebuah negara. Hal ini menyebabkan banyaknya perusahaan-perusahaan
yang menggunakan mesin dalam proses produksi dan mulai meninggalkan manusia
sebagai faktor produksi. Kejatuhan dari nilai manusia ini menyebabkan banyaknya
buruh yang tidak sejahtera. Hal inilah yang mendorong munculnya pemikiran
positif dari para buruh untuk melakukan kerjasama dalam pembelian
barang-barang. Pembelian bersama yang terus mereka lakukan tak hanya memberikan
mereka keuntungan dari segi biaya yang dikeluarkan lebih murah, tetapi mereka
sadar bahwa kerjasama yang mereka lakukan merupakan salah satu cara praktis
dalam melawan penindasan kaum kapitalis. Kerjasama ini terus berkembang
sehingga timbul sebuah istilah cooperative
atau koperasi.
Cikal
bakal koperasi muncul di Indonesia pada tahun 1896, ketika Pamong Praja Patih
R. Aria Wiria Atmaja mendirikan sebuah bank untuk para pegawai negeri yang
dinamai Bank Pertolongan Tabungan. Setelah itu, dengan bantuan De Wolffyan
Westerrode, seorang asisten residen Belanda, Bank tersebut diganti menjadi Bank
Pertolongan, Tabungan dan Pertanian agar dapat semakin luas jangkauannya. Bank
tersebut pun direncanakan untuk dijadikan koperasi. Namun sayangnya hal itu
tidak dibolehkan oleh Belanda. Meski dilarang, gerakan koperasi ternyata secara
perlahan menjamur di masyarakat. Dalam rangka mengantisipasinya, pemerintah
Hindia Belanda pun mengeluarkan berbagai peraturan perundangan tentang
perkoperasian yang cenderung mendiskriminasikan tataran hidup berkoperasi.
Mulai
tahun 1908, ketika Budi Utomo lahir, gerakan ekonomi koperasi pun kembali
dihidupkan, terlebih lagi dengan berdirinya Serikat Dagang Islam pada tahun
1927 dan Partai Nasional Indonesia pada tahun 1929 yang turut memperjuangkan
penyebarluasan semangat koperasi. Namun, Belanda kembali mematikan gerakan tersebut.
Hingga akhirnya Jepang menduduki Indonesia dan mendirikan koperasi. Hal ini pun
disambut baik oleh masyarakat Indonesia. Namun sayangnya seiring berjalannya
waktu, fungsi dari koperasi ini pun berubah menjadi alat Jepang untuk mengeruk
keuntungan dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Gerakan koperasi pun kembali
hidup setelah diadakannya Kongres Koperasi pada tanggal 12 Juli 1947 di
Tasikmalaya, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Perkembangan
Indonesia sendiri mengalami pasang surut dengan motif kegiatan usaha yang
berbeda-beda tiap waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Koperasi pertama di
Indonesia menekankan pada kegiatan simpan pinjam, selanjutnya koperasi
cenderung pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi, dan kemudian kopeasi
menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Seiring
berjalannya waktu, kegiatan usaha koperasi pun cenderung memiliki beberapa
jenis kegiatan usaha, atau yang sering disebut dengan Koperasi Serba Usaha. Hal
tersebut pun masih terus berkembang hingga sekarang.
3.
Koperasi di Indonesia Dulu dan Sekarang; Pemahaman
dan Kesalahpahaman
Dewasa ini, koperasi seringkali dianggap tengah mati
suri oleh masyarakat Indonesia. Pergerakannya yang lamban dan juga kurangnya
karya nyata dari koperasi di Indonesia menyebabkan koperasi kurang eksis di
mata rakyat Indonesia. Padahal, saat masa kemerdekaan dahulu, koperasi
mengalami perkembangan yang jauh lebih baik dibandingkan sekarang. Hal ini
dikarenakan adanya dukungan dari pemerintah, terutama Moh. Hatta. Saat itu,
koperasi dijelaskan sebagai gerakan ekonomi yang sesuai dengan UUD, yakni
ekonomi atas azas kekeluargaan. Arus dukungan yang diberikan pemerintah pada
saat itu sangat positif. Dimulai dengan pendaftaran koperasi-koperasi di
seluruh Indonesia, yang pada saat itu menyentuh angka 2500 unit.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada saat itu juga mendukung
koperasi untuk lebih berkembang dan membantu pemulihan perekonomian nasional
setelah penjajahan. Tak hanya pengembangan koperasi dari dalam, eksistensi
koperasi yang bersifat eksternal pun juga dikembangkan, seperti halnya
membangun hubungan baik antara Dewan Koperasi Indonesia dengan International
Cooperative Alliance (ICA).
Secara kuantitatif koperasi dapat dikatakan terus bertumbuh,
namun ternyata kualitas dari koperasi ternyata tidak begitu membanggakan. Pada
umumnya, koperasi kurang memiliki sumber daya manusia yang kompeten dan
manajerial koperasi yang masih belum professional. Makadari itu, pelatihan dan
pembinaan untuk unit-unit koperasi di Indonesia pun digencarkan. Hal ini
bertujuan untuk meujudkan manajemen koperasi yang rasional dan efektif dalam
mengembangkan kegiatan ekonomi para anggotanya. Pelatihan dan pembinaan untuk
unit-unit koperasi di Indonesia pun digencarkan. Hal ini bertujuan untuk
meujudkan manajemen koperasi yang rasional dan efektif dalam mengembangkan
kegiatan ekonomi para anggotanya. Meski begitu, kualitas dari koperasi masih
dapat dikatakan lamban untuk berkembang. Hal inilah yang kemudian menjadi
masalah hingga sekarang.
Kurang baiknya kinerja koperasi selama ini dinilai
sebagai akibat kesalahpahaman dan paradigma dalam pengembangan koperasi. Salah
satu penyebab mengapa koperasi sulit dikembangkan di Indonesia adalah sebab
selama ini pemerintah mengembangkan koperasi sebagai agen untuk menyalurkan
program-program pemerintah kepada masyarakat, terutama untuk sektor-sektor yang
menyerap tenaga kerja, contohnya pertanian. Selain itu, pemerintah selama ini
hanya melihat persoalan koperasi sebagai persoalan modal semata, sehingga
kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan koperasi hanya berputar pada
program-program bantuan modal untuk koperasi. Pemerintah kurang peka dalam
pencarian keuntungan dalam pengelolaan koperasi. Salah satu implementasi
kesalahpahaman mengenai permodalan koperasi ini dapat dilihat dari
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, dimana disebutkan bahwa
sumber modal koperasi dapat didapatkan dari modal penyertaan, yakni penyetoran
modal pada koperasi berupa uang atau/barang yang dapat dinilai dengan uang yang
disetorkan oleh non-anggota. Hal ini dapat berakibat pemodal besar dapat
mendominasi koperasi.
Tak hanya mengenai permodalan, UU Koperasi baru juga
menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat. Contoh lainnya yakni
mengenai peran Badan Pengawas. Fungsi Badan Pengawas kini lebih dominan, sebab
pengurus diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas. Anggota koperasi hanya
diposisikan sebagai obyek badan usaha sebab koperasi kini lebih mengedepankan
materi daripada keterlibatan anggota dalam keberlangsugan koperasi. Hal ini dikhawatirkan
dapat menghancurkan karakteristik organisasi koperasi. Budaya demokrasi pun
juga dapat hilang karena peran Dewan Pengawas yang terlalu dominan.
Selain adanya salah kaprah dalam menanggapi
kesurutan peran koperasi di perekonomian nasional seperti yang telah disebutkan
di atas, adapula permasalahan lainnya yang kini tengah dihadapi koperasi. Salah
satunya adalah adanya persepsi di masyarakat yang menganggap koperasi adalah
stigma ekonomi marjinal, yang diperuntukkan untuk golongan masyarakat bawah.
Hal ini menimbulkan keengganan bagi masyarakat yang mampu secara materi karena
merasa gengsi untuk ikut terlibat dalam koperasi. Sehingga, koperasi dianggap
sebagai kumpulan pelaku bisnis yang perlu dikasihani.
Beberapa hambatan lainnya yang dihadapi koperasi
sehingga sulit untuk berkembang adalah kurangnya partisipasi anggota. Pada
umumnya masyarakat kurang mengerti manfaat atas keterlibatan mereka di dalam
kegiatan koperasi, sehingga mereka tidak menunjukkan partisipasinya baik secara
kontribusi maupun insentif terhadap kegiatan koperasi. Hal ini dapat dikurangi
dengan cara menambah pendidikan serta pelatihan untuk anggota koperasi sebagai
bentuk pencerdasan mengenai manfaat berkoperasi. Rendahnya sosialisasi mengenai
esensi kehadiran koperasi juga menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi
masyarakat untuk berkoperasi. Masyarakat hanya menganggap koperasi hanya
mempunyai fungsi melayani tapi tidak mengerti peran penting koperasi dalam
kehidupan sosialisasi masyarakat.
Permasalahan utama lainnya yang kerap kali menjadi
sumber mengapa koperasi tidak dapat berkembang dengan baik di Indonesia adalah
sumber daya manusia dan manjemennya. Banyak anggota, pengurus, pengelola maupun
pengawas koperasi kurang dapat mendukung jalannya koperasi dengan baik. Hal ini
menyebabkan koperasi kerap kali berjalan dengan tidak professional. Kini,
seringkali pendirian koperasi didasarkan dari atas atau pemerintah bukan dari
masyarakat. Sehingga pengelolaan koperasi pun menjadi kurang dapat dikontrol
dengan ketat dari para anggotanya. Pengelola koperasi pun seringkali diambil
bukan dari yang berpengalaman. Ketidak-profesionalan ini pun pada akhirnya
menyebabkan manajemen koperasi tidak berjalan dengan baik. Seyogyanya,
manajemen koperasi diarahkan pada orientasi stratejik dan diisi oleh masyarakat
yang mampu menghimpun dan memobilisasi berbagai sumber daya yang diperlukan.
Tingkat pendidikan yang rendah yang dimiliki oleh anggota dan pengurus koperasi
dapat menyebabkan lemahnya manajemen koperasi.
Permasalahan lainnya adalah masih banyaknya koperasi
yang tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan setiap tindakannya.
Seharusnya, koperasi dapat dengan leluasa memberikan pelayanan untuk
masyarakat. Sebab, fungsi kopeasi sendiri adalah meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat dengan segala usaha yang dijalankannya. Tingkat
birokrasi yang ribet dengan berbagai syarat yang sulit menyebabkan demokrasi
ekonomi yang dimiliki koperasi kurang. Pelayanan yang diberikan koperasi pun
tidak maksimal
Pemerintah yang terlalu ‘memanjakan’ koperasi salah
satu alasan koperasi tidak berkembang di Indonesia. Koperasi banyak dibantu
pemerintah melalui program-program yang dijalankan, terutama dalam hal
permodalan. Pada umumnya, bantuan ini hanya diberikan oleh pemerintah secara
Cuma-Cuma, sehingga salah satu prinsip koperasi, yaitu adanya partisipasi
ekonomi dari anggota, tidak berjalan. Bantuan ini akan memanjakan koperasi sehingga
koperasi akan bergantung pada pemerintah dan tidak mandiri. Terlebih lagi, hal
ini dapat menjadi benalu sendiri bagi negara dalam hal pembiayaan.
4.
Saran untuk Mengembangkan Koperasi di Indonesia
Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
koperasi merupakan suatu gerakan ekonomi yang paling cocok dengan Indonesia,
yakni karena didasari azas kekeluarga. Namun ironisnya, koperasi sendiri
justeru tidak berkembang dengan baik di Indonesia karena disebabkan berbagai
permasalahan yang dihadapi. Makadari itu perlu adanya langkah-langkah stratejik
untuk membangkitkan kembali semangat koperasi untuk membantu perekonomian
nasional.
Permasahalan utama yang dihadapi koperasi adalah
karena banyaknya kesalahpahaman yang muncul di masyarakat dan juga rendahnya pengetahuan
masyarakat mengenai koperasi. Dalam mengurangi berbagai permasalahan di atas,
hal penting yang harus segera dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
memperbanyak pelatihan dan pendidikan mengenai esensi kehadiran koperasi bagi
masyarakat luas. Hal ini juga penting dalam meluruskan segala kesalahpahaman
masyarakat mengenai koperasi. Selain itu, pelatihan ini juga penting untuk
menyadarkan masyarakat mengenai arti penting kehadiran koperasi bagia
perekonomian nasional. Dengan begitu, semangat koperasi pun dapat terus terjaga
dan koperasi pun dapat terus berkembang di Indonesia.
No comments:
Post a Comment