Sunday, June 9, 2013

Totalitas Implementasi Pendidikan untuk Memanusiakan Manusia

Dewasa ini, totalitas eksistensi pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan. Banyaknya kebolongan dari berbagai aspek menyebabkan ketidaksempurnaan sistem pendidikan itu sendiri. Bagaikan tubuh manusia, apabila salah satu saja organ tidak dapat bekerja dengan baik, maka secara keseluruhan, manusia itu pun tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan sempurna. Begitupun di Indonesia, banyak unsur di dalam sistem pendidikan yang diabaikan yang menyebabkan keretakan di dalam sistem pendidikan itu sendiri.
Potret pendidikan di Indonesia masih terus menjadi fokus bagi pemerintah dalam proyek pembangunan nasional. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis oleh UNESCO pada tahun 2011, menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-69 dari 127 negara dalam penelitian UNESCO untuk Indeks Pengembangan Pendidikan. Rendahnya rasio antara anak-anak yang menempuh pendidikan dengan jumlah anak-anak keseluruhan di Indonesia bukanlah satu-satunya komponen penilaian, namun juga karena masih banyaknya komponen pendidikan itu sendiri yang masih jauh dari kata sempurna. Pada tahun 2010, Kemendiknas merilis data yang menyebutkan bahwa 54% guru yang mengajar di berbagai sekolah di Indonesia masih belum memiliki kualifikasi untuk mengajar. Selain itu, adapula faktor ketidakseimbangan antara kurikulum Indonesia yang lebih memfokuskan pada kecerdasan otak kiri dibandingkan otak kanan. Hal ini dibuktikan dengan timpangnya perbandingan jumlah materi eksak dengan materi kepribadian yang diterapkan di sekolah. Padahal, penelitian menyebutkan bahwasanya kesuksesan seseorang tidak hanya didasari oleh kecerdasan intelektualnya saja, tapi juga oleh kecerdasan emosionalnya.

Sistem Pendidikan di Indonesia Menciptakan “Manusia Robot”

Salah satu penyebab lemahnya sistem pendidikan di Indonesia adalah kurangnya perhatian dari para tenaga pendidik terhadap para peserta didik selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali menyebutkan bahwa ilmuan-ilmuan di Indonesia memiliki kecenderungan pintar namun kurang dalam tindakan. Hal ini diakibatkan oleh kurikulum yang diterapkan di Indonesia yang terlalu memaksakan perkembangan otak peserta didik dari segi kecerdasan intelektual, bukan kreativitasnya.
 Sejak kecil, peserta didik cenderung digenjot untuk belajar materi yang cukup beragam. Materi-materi tersebut pun pada umumnya hanya berupa makanan bagi otak kirinya saja, tanpa ada penyeimbang asupan bagi otak kanan. Sistem pendidikan di Indonesia memaksa agar seluruh peserta didik menelan materi-materi tersebut yang sebagian besar dalam bentuk konsep dasar dengan praktik yang minim. Belum lagi, materi yang diajarkan di sekolah pada umumnya hanya berupa gambaran umum atau konsep yang berupa abstraksi tanpa pendalaman pada fokus tertentu. Hal inilah yang menyebabkan beratnya bobot pelajaran yang harus dihadapi para peserta didik karena mereka harus mempelajari materi yang banyak dan luas.
Pemaksaan dalam bentuk ini menyebabkan peserta didik cenderung untuk merasakan stress atau tertekan dalam menghadapinya. Terutama ketika mendekati ujian. Banyaknya materi yang harus mereka pelajari memaksa mereka untuk menerapkan sitem kejar semalam atau sering disingkat dari SKS. Sistem Kejar Semalam adalah sistem belajar yang dipilih oleh peserta didik dalam mengejar materi yang akan diujikan esok hari hanya dalam semalam. Hal ini bukan hanya dikarenakan tingkat kemalasan dari peserta didik itu sendiri, tapi juga disebabkan oleh banyaknya materi yang harus dipelajari peserta didik dengan periode waktu yang cukup singkat.
Alasan lain yang sering ditemukan ketika peserta didik stress adalah mereka merasa bosan belajar karena minimnya inovasi yang diterapkan para tenaga pendidik dan pemerintah dalam proses belajar mengajar. Selain itu, para peserta didik juga merasa lelah menyantap seluruh materi yang disediakan tanpa adanya selingan dalam bentuk aktivitas lainnya. Kebosanan inilah yang akan mengganggu perkembangan otak, terutama dari segi kreativitas peserta didik. Tekanan pada otak ini juga akan berpengaruh pada perkembangan jiwa peserta didik dimana mereka akan merasa lelah secara mental dalam mengejar materi yang ada di sekolah.
Kelemahan dalam memperhatikan kepentingan integrasi dari kecerdasan otak serta emosional peserta didik inilah yang harus segera diataasi. Sebab apabila kita menilik kembali, proses belajar bukanlah hanya sekadar mendengarkan guru, menghafalkan isi buku, menjawab soal ujian, mendapatkan nilai bagus, dan selesai, tapi juga membutuhkan proses kreativitas dari para peserta didik dalam mengolah informasi yang mereka dapatkan. Sistem di Indonesia telah menjadikan para tenaga pendidik sebagai pusat dari segala proses kegiatan belajar mengajar. Sistem menganggap bahwa para peserta didik adalah sebuah kertas putih kosong yang siap ditulisi pengetahuan dari para guru. Mereka kurang diberi kesempatan untuk melakukan penyerapan sendiri terhadap materi yang mereka pelajari. Jadilah mereka, para manusia manja yang hanya bisa disuapin materi oleh para tenaga pendidik. Seperti layaknya robot yang bergerak hanya mengikuti programnya, otak dari peserta didik pun bekerja dan belajar sesuai dengan ‘doktrin’ dan materi dari para guru. Maka, tak heran apabila kita sering melihat berita bahwa banyaknya lulusan sarjana S1 yang menjadi pengangguran. Hal ini bukanlah disebabkan mereka tidak pintar, tapi kurangnya kreativitas dari dalam diri mereka. Makadari itu, sangat penting bagi sistem pendidikan di Indonesia untuk turut membangun dan mengembangkan potensi yang ada di dalam diri peserta didik. Kita harus pintar dalam menggali potensi tersebut agar kelak, lulusan yang dihasilkan bukan hanya manusia yang patuh akan sistem, tapi dapat berinovasi demi pembangunan bangsa ini.

Manusia Penyembah Nilai

Sistem pendidikan di Indonesia mengajarkan bagaimana peserta didik dapat menyerap seluruh materi yang ada demi dapat menjawab soal dengan baik dalam ujian. Hal inilah yang menciptakan mindset di kalangan peserta didik bahwa mereka belajar dan bersekolah hanya untuk mendapatkan nilai bagus dan mencapai prestasi akademik setinggi-tingginya. Esensi dari kegiatan belajar itu sendiri yang merupakan ajang untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya pun hilang.
Prestasi akademik di kalangan peserta didik bagaikan sebuah momok. Mereka belajar semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai terbaik di ujian. Banyak hal yang mereka korbankan dalam proses mencapainya, terutama waktu dan kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka. Peserta didik bagaikan manusia yang menjadikan nilai sebagai “dewa” mereka, yang harus selalu mereka dekatkan dan berani mengorbankan opportunity cost lainnya yang terkadang jauh lebih besar dari belajar.
Peserta didik tak lagi memikirkan bahwa tujuan mereka belajar adalah untuk menambah pengetahuan mereka yang kelak akan diaplikasikan di kehidupan nyata. Mereka fokus menghafal dan melahap seluruh materi yang mereka hadapkan untuk memperoleh nilai yang baik di ujian. Hal inilah yang menjadikan mereka merasa tertekan apabila mereka tidak mendapatkan nilai yang baik. Padahal, kesuksesan seseorang di dunia kerja bukanlah hanya dari baik atau buruknya nilai seseorang tersebut. Terlebih lagi, hal ini akan menciptakan kecemburuan sosial apabila nilai yang mereka peroleh lebih jelek dari nilai teman-temannya. Kecemburuan inilah yang kemudian akan berdampak besar bagi tingkat persaingan antar peserta didik. Mereka tidak lagi memandang temannya sebagai teman yang seyogyanya saling mendukung satu sama lain dalam menempuh satu tujuan, tapi menjadikannya sebagai musuh dalam meraih impian mereka. Hal ini pula yang akan menciptakan sifat ambisius yang tidak sehat dan menimbulkan konflik di antara mereka.

Memanusiakan Manusia

Mencoba menelisik kembali apa sebenarnya yang menjadi dasar dari terselenggaranya sistem pendidikan di Indonesia. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Menurut UU Pendidikan No. 20 Ttahun 2003 Pasal 3 sendiri menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
Melihat kepada tujuan-tujuan pendidikan nasional di atas  memiliki satu fokus besar, yakni membentuk karakter peserta didik. Jelas terlihat bahwa tujuan dari pendidikan nasional sendiri bukan hanya menciptakan manusia-manusia pintar, namun juga manusia yang berkarakter dan memiliki daya inovasi yang tinggi. Makadari itu, cukup mengherankan apabila kita masih sering melihat banyaknya peserta didik yang melakukan aksi tawuran, ataupun tindakan asusila lainnya. Masih banyak pula kita lihat peserta didik yang mengalami stress ketika mendekati hari ujian dan mengalami gangguan secara psikisnya.
Peserta didik yang merasa tertekan akan terhambat pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya. Tingkat produktivitas dari mereka pun akan menurun sebab mereka akan merasa tidak nyaman di dalam setiap melakukan kegiatan. Mental para peserta didik pun akan menjadi kecil ketika mereka mendapatkan nilai ataupun prestasi yang tidak menonjol. Hal ini akan menyebabkan mereka merasa menyesal dan menyalahkan diri mereka sendiri atas kegagalan yang mereka hadapi. Terlebih lagi apabila mereka justeru cenderung menyalahkan orang-orang sekitarnya.

Konsep penyajian pendidikan di Indonesia sejak awal. Apabila dilihat kembali, cara penyajian pendidikan tidak sinkron terhadap tujuan dimana sebagian besar tenaga pendidik hanya mengajarkan materi-materi yang berupa pelajaran eksak. Cara mengajar mereka pun minim inovasi sehingga menimbulkan kebosanan di peserta didik. Sangat sedikit sekali materi-materi yang mendukung perkembangan diri dan pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan kini hanyalah sebuah alat untuk mencerdaskan otak manusia, bukan mencerdaskan tindakan manusia. Makadari itu, perlu rombakan dari keseluruhan komponen di dalam sistem pendidikan itu sendiri untuk mencapai sebuah sistem yang komprehensif dan terintegrasi dalam menciptakan lulusan yang tak hanya cerdas secara fikiran, namun juga secara moral. Perlu adanya upaya memaksimalkan implementasi pendidikan nasional untuk memanusiakan manusia. Dengan begitu, manusia yang dicetak dari sistem itu sendiri merupakan manusia yang benar-benar manusia dan bukan lagi manusia robot.

No comments:

Post a Comment