Dewasa
ini, totalitas eksistensi pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan.
Banyaknya kebolongan dari berbagai aspek menyebabkan ketidaksempurnaan sistem
pendidikan itu sendiri. Bagaikan tubuh manusia, apabila salah satu saja organ
tidak dapat bekerja dengan baik, maka secara keseluruhan, manusia itu pun tidak
dapat melakukan aktivitasnya dengan sempurna. Begitupun di Indonesia, banyak
unsur di dalam sistem pendidikan yang diabaikan yang menyebabkan keretakan di
dalam sistem pendidikan itu sendiri.
Potret
pendidikan di Indonesia masih terus menjadi fokus bagi pemerintah dalam proyek
pembangunan nasional. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring
Report yang dirilis oleh UNESCO pada tahun 2011, menyatakan bahwa Indonesia
menduduki peringkat ke-69 dari 127 negara dalam penelitian UNESCO untuk Indeks
Pengembangan Pendidikan. Rendahnya rasio antara anak-anak yang menempuh
pendidikan dengan jumlah anak-anak keseluruhan di Indonesia bukanlah
satu-satunya komponen penilaian, namun juga karena masih banyaknya komponen
pendidikan itu sendiri yang masih jauh dari kata sempurna. Pada tahun 2010,
Kemendiknas merilis data yang menyebutkan bahwa 54% guru yang mengajar di
berbagai sekolah di Indonesia masih belum memiliki kualifikasi untuk mengajar. Selain
itu, adapula faktor ketidakseimbangan antara kurikulum Indonesia yang lebih
memfokuskan pada kecerdasan otak kiri dibandingkan otak kanan. Hal ini
dibuktikan dengan timpangnya perbandingan jumlah materi eksak dengan materi
kepribadian yang diterapkan di sekolah. Padahal, penelitian menyebutkan
bahwasanya kesuksesan seseorang tidak hanya didasari oleh kecerdasan
intelektualnya saja, tapi juga oleh kecerdasan emosionalnya.
Sistem Pendidikan di Indonesia
Menciptakan “Manusia Robot”
Salah
satu penyebab lemahnya sistem pendidikan di Indonesia adalah kurangnya
perhatian dari para tenaga pendidik terhadap para peserta didik selama proses
kegiatan belajar mengajar berlangsung. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Rhenald Kasali menyebutkan bahwa ilmuan-ilmuan di
Indonesia memiliki kecenderungan pintar namun kurang dalam tindakan. Hal ini
diakibatkan oleh kurikulum yang diterapkan di Indonesia yang terlalu memaksakan
perkembangan otak peserta didik dari segi kecerdasan intelektual, bukan
kreativitasnya.
Sejak kecil, peserta didik cenderung digenjot
untuk belajar materi yang cukup beragam. Materi-materi tersebut pun pada
umumnya hanya berupa makanan bagi otak kirinya saja, tanpa ada penyeimbang
asupan bagi otak kanan. Sistem pendidikan di Indonesia memaksa agar seluruh
peserta didik menelan materi-materi tersebut yang sebagian besar dalam bentuk
konsep dasar dengan praktik yang minim. Belum lagi, materi yang diajarkan di
sekolah pada umumnya hanya berupa gambaran umum atau konsep yang berupa
abstraksi tanpa pendalaman pada fokus tertentu. Hal inilah yang menyebabkan
beratnya bobot pelajaran yang harus dihadapi para peserta didik karena mereka
harus mempelajari materi yang banyak dan luas.
Pemaksaan
dalam bentuk ini menyebabkan peserta didik cenderung untuk merasakan stress
atau tertekan dalam menghadapinya. Terutama ketika mendekati ujian. Banyaknya
materi yang harus mereka pelajari memaksa mereka untuk menerapkan sitem kejar
semalam atau sering disingkat dari SKS. Sistem Kejar Semalam adalah sistem
belajar yang dipilih oleh peserta didik dalam mengejar materi yang akan
diujikan esok hari hanya dalam semalam. Hal ini bukan hanya dikarenakan tingkat
kemalasan dari peserta didik itu sendiri, tapi juga disebabkan oleh banyaknya
materi yang harus dipelajari peserta didik dengan periode waktu yang cukup
singkat.
Alasan
lain yang sering ditemukan ketika peserta didik stress adalah mereka merasa
bosan belajar karena minimnya inovasi yang diterapkan para tenaga pendidik dan
pemerintah dalam proses belajar mengajar. Selain itu, para peserta didik juga
merasa lelah menyantap seluruh materi yang disediakan tanpa adanya selingan
dalam bentuk aktivitas lainnya. Kebosanan inilah yang akan mengganggu perkembangan
otak, terutama dari segi kreativitas peserta didik. Tekanan pada otak ini juga
akan berpengaruh pada perkembangan jiwa peserta didik dimana mereka akan merasa
lelah secara mental dalam mengejar materi yang ada di sekolah.
Kelemahan
dalam memperhatikan kepentingan integrasi dari kecerdasan otak serta emosional
peserta didik inilah yang harus segera diataasi. Sebab apabila kita menilik
kembali, proses belajar bukanlah hanya sekadar mendengarkan guru, menghafalkan
isi buku, menjawab soal ujian, mendapatkan nilai bagus, dan selesai, tapi juga
membutuhkan proses kreativitas dari para peserta didik dalam mengolah informasi
yang mereka dapatkan. Sistem di Indonesia telah menjadikan para tenaga pendidik
sebagai pusat dari segala proses kegiatan belajar mengajar. Sistem menganggap
bahwa para peserta didik adalah sebuah kertas putih kosong yang siap ditulisi
pengetahuan dari para guru. Mereka kurang diberi kesempatan untuk melakukan
penyerapan sendiri terhadap materi yang mereka pelajari. Jadilah mereka, para
manusia manja yang hanya bisa disuapin materi oleh para tenaga pendidik. Seperti
layaknya robot yang bergerak hanya mengikuti programnya, otak dari peserta
didik pun bekerja dan belajar sesuai dengan ‘doktrin’ dan materi dari para
guru. Maka, tak heran apabila kita sering melihat berita bahwa banyaknya
lulusan sarjana S1 yang menjadi pengangguran. Hal ini bukanlah disebabkan
mereka tidak pintar, tapi kurangnya kreativitas dari dalam diri mereka.
Makadari itu, sangat penting bagi sistem pendidikan di Indonesia untuk turut
membangun dan mengembangkan potensi yang ada di dalam diri peserta didik. Kita
harus pintar dalam menggali potensi tersebut agar kelak, lulusan yang
dihasilkan bukan hanya manusia yang patuh akan sistem, tapi dapat berinovasi
demi pembangunan bangsa ini.
Manusia Penyembah Nilai
Sistem
pendidikan di Indonesia mengajarkan bagaimana peserta didik dapat menyerap
seluruh materi yang ada demi dapat menjawab soal dengan baik dalam ujian. Hal
inilah yang menciptakan mindset di
kalangan peserta didik bahwa mereka belajar dan bersekolah hanya untuk
mendapatkan nilai bagus dan mencapai prestasi akademik setinggi-tingginya.
Esensi dari kegiatan belajar itu sendiri yang merupakan ajang untuk mendapatkan
ilmu seluas-luasnya pun hilang.
Prestasi
akademik di kalangan peserta didik bagaikan sebuah momok. Mereka belajar
semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai terbaik di ujian. Banyak hal yang
mereka korbankan dalam proses mencapainya, terutama waktu dan kesempatan untuk
mengembangkan minat dan bakat mereka. Peserta didik bagaikan manusia yang
menjadikan nilai sebagai “dewa” mereka, yang harus selalu mereka dekatkan dan
berani mengorbankan opportunity cost lainnya yang terkadang jauh lebih besar
dari belajar.
Peserta
didik tak lagi memikirkan bahwa tujuan mereka belajar adalah untuk menambah
pengetahuan mereka yang kelak akan diaplikasikan di kehidupan nyata. Mereka
fokus menghafal dan melahap seluruh materi yang mereka hadapkan untuk
memperoleh nilai yang baik di ujian. Hal inilah yang menjadikan mereka merasa
tertekan apabila mereka tidak mendapatkan nilai yang baik. Padahal, kesuksesan
seseorang di dunia kerja bukanlah hanya dari baik atau buruknya nilai seseorang
tersebut. Terlebih lagi, hal ini akan menciptakan kecemburuan sosial apabila
nilai yang mereka peroleh lebih jelek dari nilai teman-temannya. Kecemburuan
inilah yang kemudian akan berdampak besar bagi tingkat persaingan antar peserta
didik. Mereka tidak lagi memandang temannya sebagai teman yang seyogyanya
saling mendukung satu sama lain dalam menempuh satu tujuan, tapi menjadikannya
sebagai musuh dalam meraih impian mereka. Hal ini pula yang akan menciptakan
sifat ambisius yang tidak sehat dan menimbulkan konflik di antara mereka.
Memanusiakan Manusia
Mencoba
menelisik kembali apa sebenarnya yang menjadi dasar dari terselenggaranya
sistem pendidikan di Indonesia. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Menurut UU
Pendidikan No. 20 Ttahun 2003 Pasal 3 sendiri menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung
jawab.
Melihat
kepada tujuan-tujuan pendidikan nasional di atas memiliki satu fokus besar, yakni membentuk
karakter peserta didik. Jelas terlihat bahwa tujuan dari pendidikan nasional
sendiri bukan hanya menciptakan manusia-manusia pintar, namun juga manusia yang
berkarakter dan memiliki daya inovasi yang tinggi. Makadari itu, cukup
mengherankan apabila kita masih sering melihat banyaknya peserta didik yang
melakukan aksi tawuran, ataupun tindakan asusila lainnya. Masih banyak pula
kita lihat peserta didik yang mengalami stress ketika mendekati hari ujian dan
mengalami gangguan secara psikisnya.
Peserta
didik yang merasa tertekan akan terhambat pertumbuhan dan perkembangan di dalam
dirinya. Tingkat produktivitas dari mereka pun akan menurun sebab mereka akan
merasa tidak nyaman di dalam setiap melakukan kegiatan. Mental para peserta
didik pun akan menjadi kecil ketika mereka mendapatkan nilai ataupun prestasi
yang tidak menonjol. Hal ini akan menyebabkan mereka merasa menyesal dan menyalahkan
diri mereka sendiri atas kegagalan yang mereka hadapi. Terlebih lagi apabila
mereka justeru cenderung menyalahkan orang-orang sekitarnya.
Konsep
penyajian pendidikan di Indonesia sejak awal. Apabila dilihat kembali, cara
penyajian pendidikan tidak sinkron terhadap tujuan dimana sebagian besar tenaga
pendidik hanya mengajarkan materi-materi yang berupa pelajaran eksak. Cara
mengajar mereka pun minim inovasi sehingga menimbulkan kebosanan di peserta
didik. Sangat sedikit sekali materi-materi yang mendukung perkembangan diri dan
pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan kini hanyalah sebuah alat untuk
mencerdaskan otak manusia, bukan mencerdaskan tindakan manusia. Makadari itu,
perlu rombakan dari keseluruhan komponen di dalam sistem pendidikan itu sendiri
untuk mencapai sebuah sistem yang komprehensif dan terintegrasi dalam
menciptakan lulusan yang tak hanya cerdas secara fikiran, namun juga secara
moral. Perlu adanya upaya memaksimalkan implementasi pendidikan nasional untuk
memanusiakan manusia. Dengan begitu, manusia yang dicetak dari sistem itu
sendiri merupakan manusia yang benar-benar manusia dan bukan lagi manusia
robot.
No comments:
Post a Comment