Saturday, April 5, 2014

Dialog Malam Itu

April, 2014.

Pria: Halo Wanita, apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak berbincang

Wanita: Hai Pria! Baik kabarku di sini. Ku harap kabarmu di sana tak kalah baiknya denganku.

Pria: Iya, ragaku baik di sini. Mungkin lebih baik daripadamu dengan melihat segala kesibukanmu sekarang yang seakan tak punya waktu untuk memanjakan diri.

Wanita: Haha tak separah itu.

Pria: Tapi hatiku tidak.

Wanita: Ohya…

Pria: Tidakkah kau tanyakan penyebabnya padaku? Atau jangan-jangan kau sudah mengetahuinya

Wanita: Tiada hakku lagi mengetahui segala urusanmu.

Pria: Ini bukan hanya tentangku…

Wanita: ….

Pria: Ini tentang kita.

Wanita: Aku rasa sudah ku hapuskan kosakata ‘kita’ untuk aku dan kamu.

Pria: Jangan begitu. Segitu mudahnya kah kau melupakanku?

Wanita: Ah kau salah menilaiku. Tiada seujung kuku pun aku melupakan kamu. Aku masih ingat nama panjangmu, tanggal ulang tahunmu dan juga kesukaanmu.

Pria: Lalu kenapa kamu tinggalkanku?

Wanita: Adakah hal lain yang lebih penting yang bisa kita perbincangkan? Aku lelah, sesuai katamu, sedikit waktuku untuk bermanja diri.

Pria: Aku hanya belum bisa melupakan kamu dan kita wahai wanita.

Wanita: Sudah ku bilang sebelumnya, wahai pria. Tiada hakku lagi mengurus urusanmu. Aku sudah menghapus kata ‘kita’ antara aku dan kamu dalam kosakata hidupku. Aku kira kamu sudah melakukannya juga. Tolong, jangan persulit hidupku. Kau sendiri yang dahulu berkata bahwa kau bahagia melihatku kini bahagia dengannya. Jangan kau buat hatiku merasa bersalah denganmu. Ada hati lainnya yang butuh aku jaga. Bukan hatimu lagi. Mengertilah.

Pria: Sadarkah kamu dengan apa yang dahulu kita bangun bersama. Kita memulainya dari nol hingga saat itu. Aku tau tak sedikit salah yang ku perbuat padamu. Tapi kamu pasti mengetahui seberapa besar rasa yang aku simpan untukmu. Mengapa kau dengan mudah melepaskan ketika diri ini sudah semakin tak terpisahkan. Bisakah kau ingat 26 bulan kebersamaan kita saat itu yang penuh canda walau tak sedikit pula berhiaskan tangisan. Itu indah bukan? Sadarkah engkau?

Wanita: Wahai pria yang paling bijaksana, bukan maksudku untuk meninggalkanmu kala itu. Bukankah itu berawal dengan segala diam yang berujung kelelahan aku dan kamu bersama? Lalu, siapakah yang bersalah di sini? Kamu dan juga aku yang salah. Tapi bisa juga bukan aku ataupun kamu yang bersalah. Mungkin memang bukan nama akulah yang dituliskan untukmu. Begitupun dengan aku, mungkin bukan namamu yang dituliskan untuk bersamaku. Sudahlah, aku mohon. Jangan kau siksa dirimu sendiri dengan memikirkan hal-hal seperti ini. Umurmu tak muda lagi, wahai pria. Umur mapanmu siap menjemput wanita beruntung di luar sana untuk bahagia bersamamu. Seperti jiwaku di sini yang sudah diikatkan pada jiwa lainnya atas izin Yang Maha Kuasa. Perlu kau ketahui juga wahai pria, rasaku sekarang ini pada seseorang yang bersamaku sekarang sangat berbeda, bukan seperti rasa-rasa dengan yang sebelumnya. Aku yakin. Bahkan lebih yakin daripada bersamamu 26 bulan. Mengertilah.

Pria: Kau ucapkan itu kepadaku sudah lebih dari ratusan kali selama 8 bulan terakhir ini. Tak bosankah kau mengucapkan hal-hal yang terus menyakitiku? Aku hanya ingin sedikit saja kau menengok padaku bukan sebagai masa lalumu, tapi melihatku dengan kekinianku. Aku yang kini terus tumbuh walau dengan segala rasa sakit yang menyiksa. Aku yang kini terus berusaha berkembang mengacuhkan segala sesak di dada. Tapi kau ini sungguh keterlaluan. Bayangmu terus membayangiku. Tak bisakah kau berhenti menghalangiku? Diri ini terus merindukanmu.

Wanita: Salahmu sendiri yang terus menghadirkanku di setiap langkah hidupmu. Pernah kau bercermin dan melihat betapa kuatnya dirimu tanpa aku? Kau bisa berdiri dan berjalan dengan gagahnya sekarang meski tiadaku di sisimu. Sadarkah kamu? Sudahlah, jangan siksa dirimu lagi, wahai pria. Aku tak bisa berbuat atas kerinduanmu itu. Sungguh, itu bukan salahku. Hmm baiklah, aku akan minta maaf karena aku terus menghantuimu, kalau memang kau butuh salahku. Hanya kamu dan hatimu yang bisa mengembalikan semua menjadi baik-baik saja. Yakinlah, kamu bisa. Aku di sini tak dapat lagi menyebut namamu dalam doaku setiap setelah solat. Maafkan karena ada nama lain yang kini harus terus ku ucapkan demi masa depanku dengannya. Tapi aku di sini berharap, kau terus dijaga oleh-Nya di dalam penantianmu itu. Semoga pula kau dapat menyembuhkan segala sakit  yang kau rasa sekarang. Memintalah pada-Nya, karena hanya Ia yang Maha Mengetahui atas segala rahasia setiap ummat-Nya. Berhentilah meninggalkan solat, rajinlah kau kini menyebut nama-Nya dan membaca kitab-Nya, seperti pria yang bersamaku kini. Aku sangat mengaguminya. Perempuan akan sangat mengagumi pria seperti itu wahai pria.

Wanita: Assalamualaikum…

Pria: Sadarkah engkau berapa banyak goresan yang engkau hasilkan di dalam hatiku? Setiap kali kau lukai hati ini, semakin nyata juga semua bayangan kenangan kita. Aku tidak tau kenapa Ia mengujiku sejahat ini. Aku sungguh tersiksa di sini. Aku rindu setiap kali ku membuka mata di setiap pagi dan hanya namamu yang ku ingat tiap aku ingin menutup mata di malam hari. Tak pernahkah kau sadar seberapa sering namamu ku sebut dalam doaku? Meski sekarang kau tak lagi menolehkan wajahmu padaku, tapi aku di sini masih menantimu dengan rasa yang masih sama. Aku harap kau mengerti. Kalau memang Tuhan telah menyediakan wanita lainnya untukku, kenapa setiap hari rasa rindu ini semakin bertambah. Bantu aku untuk melupakanmu. Bantu aku, untuk bertemumu dan merasakan hangatnya dirimu (walau dengan dinginnya hatimu) terakhir kalinya. Temani aku untuk terakhir kali. Setelah itu, aku janji akan berusaha melupakanmu dan berhenti pasrah dengan segala sakit ini. Temani aku, menjadi pendamping kelulusan profesiku. Aku mohon.

Pria: Baiklah.

Pria: Walaikumsalam.


Wahai pria yang dahulu mengisi seluruh kehidupanku, bukan saatnya kini kau hadir kembali untuk mencoba mencuri apa yang kini telah dimiliki orang lain. Kau tau? Aku tak pernah berubah padamu. Aku masih adikmu, yang akan selalu hadir ketika kamu butuh teman curhat dan ceritamu. Mengertilah.

-K.

Tuesday, April 1, 2014

Ada

Ada pesan yang tak tersampaikan ketika mulut memilih tertutup dibandingkan untuk menguraikan.
Ada kata yang tak terucap saat lidah ini diam mengkakukan diri menghindar bericap.
Ada mata yang tergenang menahan segala rasa yang menyesakkan dada.
Ada diri yang tersudutkan karena tak dapat jujur pada hati sendiri.

Ada. Ada aku.
Selamat istirahat! Aku di sini, merindukanmu.