Monday, July 29, 2013


One Thing

Every time I see you and your girlfriend are online in facebook, it's only one thing that I think: You both should have a nice conversation right now. Like we had before.

Suatu Ketika (4)

Mungkin benar kata Tere Liye, apabila kita terus memendam rasa, kita akan lelah sendiri termakan ilusi hati kita. Seperti halnya yang terjadi pada Kirana. Pertemuan singkat namun meninggalkan kesan bersama Adrian ketika itu sukses membuat hati Kirana selalu gundah dan memikirkan hal-hal yang semakin lama semakin tak jelas. Kirana pun semakin tak bisa membedakan mana yang hanya ilusi hatinya atau hanya impian belakanya. Makin lama, pikirannya tak waras, ia semakin tak dapat memilahnya dengan bijaksana. Untunglah, kejadian di suatu ketika membuatnya sadar. Dunia percintaan dia saat ini, bukanlah hanya tentang Adrian.


Hari Minggu memang hari yang tepat untuk bersantai-santai ria bagi Kirana. Apalagi pada bulan puasa kayak gini. Sehabis sahur, ia menghabiskan waktunya, bahkan hingga Dzuhur untuk tidur. Pagi itu, jam 10, dering sms berbunyi dari salah satu handphone Kirana. Untuk masalah dering dari handphone-nya, Kirana memang paling peka karena ia selalu berpikiran bahwa ada sesuatu yang penting apabila handphone-nya berbunyi. Tangannya pun merayap ke buffet sebelah kasurnya meraba-raba mencari handphone-nya. Dengan mata masih setengah tertutup, ia membaca sms itu:

"Ra, apa kabar kamu sekarang? Kamu masih kerja di kantor kamu yang dulu?"

Ia pun melihat nama pengirim sms tersebut, 'Damarian'. Tersontak, Kirana bangun dari tidur nyenyaknya. Ia masih tak yakin akan nama yang baru saja ia lihat. Sekali lagi ia lihat namanya, nama itu pun masih sama, 'Damarian'.

Damarian. Salah satu nama dari deretan nama yang pernah hadir di dalam kehidupan percintaan Kirana. Damar, sapaannya, merupakan senior Kirana di salah satu kursus bahasa Inggris saat SMA dulu. Saat itu, Kirana masih kelas 2 SMA dan Damar sudah tingkat 1 kuliah salah satu universitas negeri di Jawa Timur. Seperti yang telah diduga, mereka terlibat cinta lokasi. Namun, hubungan mereka tidak seperti hubungan pasangan normal biasanya. Saat itu, Kirana masih belum bisa move on dari mantannya sebelumnya. Ia masih belum dapat berpindah ke lain hati. Namun, kehadiran Damar tak dapat ditampik bahwa telah mengisi hati Kirana yang kosong. Tapi, entah kenapa Kirana masih belum dapat menerima Damar dengan setulus hati. Hubungan mereka pun terpaksa, terpaku pada sebuah tahapan, HTS, Hubungan Tanpa Status. Mereka saling mengetahui bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. mereka saling merindu apabila salah satu dari mereka menghilang. Mereka sangat memahami hal itu. Tapi, kembali lagi, entah kenapa Kirana masih belum dapat dengan ikhlas menerima Damar sebagai pengisi hatinya, setelah mantannya terdahulu, Ryan.
Damar, dengan sabarnya selalu menerima ketidakjelasan hubungan tersebut. Hubungan itu pun berlanjut hingga bertahun-tahun. Yang lebih membuat terperangah adalah ketika di hubungan tersebut, Kirana dan Damar memutuskan untuk pacaran. Tapi bukan antara Kirana dan Damar. Tapi Kirana berpacaran dengan Adi, salah satu teman kursus lainnya dan Adrian pacaran dengan Melly, teman kuliahnya. Hubungan itu semakin aneh. Walaupun hubungan pacaran mereka dengan yang lain hanya berlangsung sebentar, tapi selama itu pula, Kirana-Adrian menjalin cerita.
Hingga suatu saat, tiba pada satu titik dimana Kirana dan Adrian sama-sama merasa lelah menjalani kisah mereka sendiri. Mereka pun mencoba mengakhiri apa yang mereka telah mulai. Mereka runtuhkan segala perasaan mereka. Mereka tau bahwa apa yang mereka lakukan saat ini, apa yang mereka jalani sekarang adalah sebuah kesalahan dan tentunya akan berakibat tidak baik bagi kehidupan mereka. Tepat sekitar 3 bulan yang lalu, hubungan mereka resmi 'putus'.

Tersontak, sms Damar sukses membuat hati Kirana gundah. Ia resah tidak tau apakah ia harus membalas sms tersebut atau tidak. Sekelibat, muncul kenangan-kenangan bersama Damar dahulu. Ia rindu saat-saat bersama Damar dahulu. Ia merasa sepi dan aneh tanpa Damar. Diam-diam, Kirana pun masih menyisakan ruang di hatinya untuk Damar. Perlahan, ia pun memainkan jarinya di atas keypad handphone-nya. Kirana pun membalas sms tersebut.

"Hai apa kabar? Sombong banget sih udah lama ga ngobrol. Aku baik-baik aja di sini. Kamu gimana?"

Tak lama berselang dering sms handphone Kirana pun kembali berbunyi dan tentu saja sesuai tebakan, sebuah sms baru dari Damarian

"Kok aku yang dibilang sombong? Kamu dong yang sombong, sibuk mulu sekarang."

Dan, kembali, Kirana dan Damar pun kembali berkomunikasi. Mereka seakan merajut kembali rasa mereka yang dahulu sempat terobek termakan ketidaksabaran dan kerakusan mereka. Asa demi asa mereka bangun lagi bersama. Kini, hati Kirana kembali resah. Ia takut apa yang ia lakukan sekarang, kembali dengan Damar merupakan hal yang salah.
Hingga akhirnya, tiba pada sebuah titik dimana Damar kembali menghilang. Ia berhenti membalas sms Kirana. Tentu, Kirana bertambah resah. Ia merasa telah dipermainkan. Ketika ia mencoba mencari dirinya di mata Damar, ia kembali diacuhkan.

"Yaa Tuhan, aku tidak tahu siapa jodohku nanti. Sebenarnya pada saat ini pun aku tidak sedang fokus dalam pencarian jodohku. Tapi, aku capek untuk terus bermain dengan hati sendiri. Selalu termakan ilusi sendiri. Aku capek meladeni hati yang kadang hilang kewarasannya, yang kadang menggerus akal sehat yang kumiliki. Aku hanya ingin hidup dengan tenang dan bahagia ada ataupun tiada cinta mendampingi. Tapi aku tak mau, begini terus. Hanya ditemani bayangan cinta yang tercipta oleh angan dalam diri"

Saturday, July 27, 2013

Suatu Ketika (3)

Kata orang, kalau jodoh itu pasti entah gimana ceritanya bakal secara ga sengaja ketemu gitu aja. Dimana pun dan kapanpun kita punya kegiatan, pasti ada kaitannya ketemu ataupun punya kejadian yang berkaitan dengannya. Seenggaknya, di FTV2 sih kayak gitu. Tapi entah kenapa hal itu tidak terjadi di antara Kirana dan Adrian.

Siang itu, Kirana terpaksa harus rapat ke kantor kliennya di daerah Kuningan. Panas banget saat itu. Kirana berangkat bersama timnya. Sesampainya di sana, meeting berjalan dengan cuku lama namun membuahkan hasil yang memuaskan bagi Kirana dan timnya. Setelah selesai meeting, Kirana memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia ingin refreshing dulu dan ingin berjalan-jalan di salah satu mall di dekat kantor kliennya tersebut.

Saat itu Kirana sedang tidak berpuasa. Ia pun memutuskan untuk meminum hot coffee dulu di salah satu kafe. Untuk menghilangkan bosan yang melandanya, ia pun memutuskan memainkan iPadnya. Ada satu hal yang ia pikirkan saat itu, Adrian lagi apa yaa..... Ia pun membuka twitter Adrian untuk mencari tau sedang apa dan dimana Adrian saat itu.

Jeng... jeng....
Tweet teratas Adrian berisikan:

"Ya, hari ini kembali mencari recehan di Kuningan. Thamrin City dulu bisa kali"

"Wait.... Adrian ada di sini?? Gue harus cari dia!" Kirana pun dengan terburu-buru menghabiskan minumnya dan mencari Adrian. Tweet itu sekitar 16 menit yang lalu. Masih ada harapan baginya untuk ketemu

"Gue harus ketemu Adrian nih. Yaa pura-pura aja kebetulan ketemu, biar terkesan jodoh. Kalau emang kali ini ketemu, mungkin emang kita berjodoh. Yaa Allah aamiin aamiin aamiin"

Pikiran itu pun selalu terlintas di pikiran Kirana sambil mengamini setiap pikirannya.

Berjam-jam Kirana muter-muter mall tersebut, tapi tak ada hasil yang ia dapatkan. Adrian pun sudah tak ngetweet lagi. Kirana bingung, dan kini Kirana pun ragu.

"Yaa Tuhan, kali ini kembali kami bersama di tempat yang sama tapi kami tak bertemu seperti halnya ketika itu. Yaa Tuhan kami tidak berjodoh yaa?? Beneran enggak? Yaa kalo ga berjodoh, tolong yaa Tuhan jodohkan kami. Aku hanya............. merasa nyaman dengannya. Adriaaan"

Sunday, July 21, 2013

Dipecut Tere Liye

Terkadang kita masih membutuhkan quotes2 macem gini untuk memecut diri kita.
Kalo gue sendiri, berhasil terpecut. Kalau lo?


"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak meawan. Mengikhlaskan semuanya"

"Kalau memang terlihat rumit, lupakanlah. Itu jelas bukan cinta sejati kita. Cinta sejati selalu sedeerhana. Pengorbanan yang sederhana kesetiaan yang tak menuntut apapun dan keindahan yang apa adanya"

"Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbung mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta"

"Tidak ada yang pergi daripada hati. Tidak ada yang hilang dari sebuah kenangan"

"Apakah ada yang pernah berpikir hidup ini bukan soal pilihan? Karena jkia hidup hanya sebatas soal pilihan, bagaimana caranya kai akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu"

"Orang-orang yang jatuh cinta terkadang terbelenggu oleh ilusi yang diciptakan oleh hatinya sendiri"

"Cinta sejati selalu datang pada saat yang tepat, waktu yang tepat dan tempat yang tepat. Ia tidak pernah tersesat"


Terimakasih Tere Liye :")

Saturday, July 20, 2013

Suatu Ketika (2)

Sore itu guratan wajah Kirana masih tak berbeda dengan beberapa hari lalu. Mukanya yang selalu dibalut senyum tetap tidak bisa menyembunyikan kekusutan pikirannya. Tumpukan kertas di mejanya hanya baru menyusut beberapa sentimeter saja. Matanya sudah cukup lelah karena setiap saat setiap waktu terus-terusan melihat laptop. Entah sudah berapa kali ia membunyikan jari-jari tangannya. Jarum panjang dan jarum pendek jam di dinding tepat menunjukkan pukul 3 sore. Kirana yang menyadarinya segera membereskan segala kerjaannya di meja dengan buru-buru.

"Mati gue... Jangan sampai telat. Haduh haduh" Kalimat-kalimat tersebut tak henti-hentinya diucapkan Kirana. Ya, sore itu, jam setengah empat sore ia ada janji dengan kliennya di salah satu kafe ternama. Kafe itu memang tak jauh dari kantornya, hanya berjarak beberapa meter saja. Tapi ia tentu saja tidak bisa membiarkan ruang kerjanya yang begitu berantakannya.

3.20 p.m
Kirana jalan tergesa-gesa. Ketukan hak tinggi sepatunya mengiringi langkahnya yang kini tak lagi anggun. Kirana tak peduli. Di lift, Kirana sibuk membereskan rambutnya dengan memperdayakan kaca di dinding liftnya. Ia sangat bersyukur di lift itu hanya ada dirinya. "Ada waktu selama 18 lantai untuk dandan", ucapnya dalam hati. Ia juga sibuk menyemprotkan minyak wangi ke badannya yang sudah mulai merasa kegerahan setelah beres-beres ruang kerjanya tadi.

3.35 p.m
Kirana masuk ke kafe dengan langkah besar-besar. "Mati gue, telat". Rapat kali ini cukup genting karena kliennya tersebut berencana untuk melakukan kerjasama lainnya dengan  Kirana. Perusahaan tersebut sangat puas dengan hasil kerja Kirana dan teman-temannya. Tapi dengan telat seperti ini, branding yang sudah capek-capek dibangun bisa rusak. Sebelum mendatangi meja tempat kliennya berkumpul, Kirana berhenti sesaat untuk merapikan kemeja, rok, dan rambutnya. Ia harus tampak sempurna hari itu.

"Maaf pak saya, terlambat" Kirana pun datang dengan anggunnya dan menyampaikan maafnya dengan senyum simpul yang menganggunkan

"Yaa Kirana tak apa, santai saja kamu seperti sama orang lain saja sama kami. Yasudah silahkan duduk" Salah satu kliennya pun menenangkan Kirana dan menyuruhnya duduk.

Rapat itu berlangsung tidak terlalu lama. Penjelasan Kirana yang singkat namun sangat padat membuat klien mudah mengerti dengan maksud Kirana. Namun, kira-kira 30 menit sebelum rapat berakhir, perasaan Kirana tak tenang. Sekelibat ia melihat rombongan Perusahaan Mentari masuk ke dalam kafe tersebut. Rombongan itu sama seperti rombongan yang waktu itu dirinya dan Dyah rapat di hotel beberapa hari lalu. Ada satu perasaan yang membuncah di hatinya. "Kalau rombongan itu sama, apakah ada Adrian?" Ia pun terus menanyakan hal itu ke dalam hatinya. Rombongan Perusahaan Mentari masuk kedalam sebuah ruang kaca, meeting room yang dekat dengan toilet di pojok sana. Kirana penasaran, ia pun memohon izin ke audience rapat untuk pergi ke toilet. Ketika melewati meeting room 2, Kirana tak henti melirik ke dalamnya. Mencari-cari sesosok pria yang ia selalu rindukan selama ini. Dua kali ia melewati ruangan itu, ia tak menemukan sosok Adrian.

"Adrian kok nggak ada? Itu sama persis kok rombongannya sama kayak kemarin Tapi kenapa Adrian nggak ada? Adrian kemana? Ya Tuhan, diri ini kangen banget sama Adrian. Tapi masa iya sih gue beneran kangen sama Adrian? Gue kangen sama Adrian atau gue hanya kangen mengobrol dengan dia? Yaa ampuuun, gue kangen. Gue kangen"

Friday, July 19, 2013

Suatu Ketika

Siang itu matahari bersinar dengan terangnya. Sangat terang bahkan. Panasnya terik, sangat menggoda iman-iman orang yang berpuasa. Sama halnya yang dirasakan Kirana. Ia juga berpuasa, tapi entah kenapa ia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya dari tadi pagi. Entah sakit karena kebanyakan makan sambel saat sahur tadi atau karena keram mau dapet. Berusaha mungkin ia mengabaikannya. Masih banyak kerjaan yang harus ia kerjakan. Panasnya bumi saat itu yang masuk melalui celah di gordyn seakan mengalahkan dinginnya ruangan Kirana. "Yaa Tuhan kapan selesainya ini semua??" Keluhnya saat melihat tumpukan kertas di mejanya yang tak kunjung habis. "Yaa ampun masih jam segini" Tambahnya sambil menepuk jidatnya saat melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 14.00 WIB.

Kirana terpaksa harus mengerjakan seluruh pekerjaan dan memastikan semua itu selesai di hari Rabu minggu depan. Ia harus mudik. Sudah bertahun-tahun ia tak mudik. Ia sangat merindukan kedua orangtuanya. Selama ini ia terpaksa hanya membayarkan ongkos kedua orangtuanya untuk ke Jakarta untuk menggantikan dirinya yang harusnya mudik. Ia sangat menyesal. Ia kesal pada dirinya, sebenarnya. Namun, harus bagaimana lagi. Ia merindukan ayah ibunya. Begitupun orang tuanya. Makadari itu, ia selalu memohon orangtuanya untuk datang 'mudik' ke Jakarta setiap menjelang lebaran untuk melepas rasa kangennya.

Sesaat Kirana melepas lelahnya di ruangannya. Tangannya pegal mengetik semua laporan itu. Ia rebahkan badannya ke senderan kursinya. Baru saja matanya tertutup sejenak, pintu ruangannya terketuk. "Kiranaa, ini gue, Dyah", terdengar suara dari luar. Sambil mengerjapkan matanya, dengan lemas Kirana membenarkan posisi kerjanya, "huft ganggu aja sih", keluhnya dengan suara pelan. "Iya mbak, masuk aja", jawab Kirana.

Wanita bernama Dyah tersebut masuk dengan suara hak sepatunya yang tingginya sekitar 12 cm. Pembawaannya anggun, ia selalu memakai dress cantik yang dipadu-padakan dengan aksesoris yang menawan. Dyah adalah senior Kirana di kantor sekaligus Kepala Divisi dimana Kirana menjadi wakilnya.

"Na, lo lagi sibuk nggak?" tanyanya sesaat ketika masuk ruangan Kirana. Suaranya terlihat sangat lelah dan terengah-engah.

"Yaa lo liat sendiri aja mbak. Kenapa sih emangnya? Tenang dulu lah, capek banget keliatannya" Kirana menjawab dengan nada heran sekaligus tak tertarik dengan obrolan pembuka yang menanyakan apakah dirinya sibuk atau tidak.

"Lo harus nemenin gue." Jawabnya "Si Riri lagi sakit jadi nggak ada yang ingetin gue kalo hari ini ada rapat penting sama  partner kantor kita, makanya gue baru inget. Please temenin gue" Lanjut Dyah sambil mengipas-ngipas dirinya dengan kertas yang barus saja ia ambil dari tumpukan kerjaan Kirana.

"Mbaak, maksud lo sama perusahaannya temennya Ryan? Apa tuh Mentari ya?

"Iyaaa. Lo ngerti kan itu penting banget!!"

"Iyaiyaa gue tau itu penting. Tapi kan selama ini itu lo yang pj-in. Gue nggak masuk langsung kesitu. Gue nggak mau ah, gue takut kesalahan. Lo juga belum jelasin mengenai hal itu kan mbak ke kita-kita"

"Tenang aja Na, lo nggak usah ngomong apa-apa deh ntar di sana. Asal temenin gue aja. Gue males sendirian kalo dari Analisator. Please Naaaa" Dyah pun mengeluarkan jurus muka melasnya yang paling tidak bisa dihindari oleh Kirana

"Mbaakk ah lu mah. Yaudah iya iya, tunggu gue in 10 minutes" Kirana pun akhirnya pasrah dan menerima ajakannya

"Gue tunggu di lobby yaa. 10 minutes. Bawa juga tuh laporan dari Eurika biar jadi bandingan" Dyah pun dengan semangat jalan keluar ruangan Kirana. "Thanks ya beib" Lanjutnya sambil ketawa riang sebelum menutup pintu ruang kerja Kirana

"Huft iyeeeee" Jawab Kirana tak niat.

...

Perjalanan hari itu tidak terlalu padat. Ia dapat sampai ke hotel tempat mereka janjian dengan Mentari dalam waktu kurang dari 45 menit. "Na, lo harus pasang tampang cantik yaa. Jangan mumet kayak gitu hehe" berkata Dyah sesaat setelah mendaftarkan namannya di Vallet.

Sebenarnya tampang Kirana itu cantik. Tapi memang kalau dia sedang diam atau bengong, mukanya itu ngeselin banget, kayak orang ngajakin ribut kata orang-orang. Makanya ia selalu sebisa mungkin tersenyum dalam keadaan apapun.

Mereka pun mulai masuk ke hotel. Mereka janjian di salah satu ruang rapat sewaan hotel. Ketika mereka masuk, mereka pun disambut hangat oleh PT Mentari. Selama rapat sebenarnya Kirana sangat tertarik dengan bahasannya, namun apa daya rasa lelahnya menguasai tubuhnya. Banyak yang sebenarnya ingin ia utarakan dan perdebatkan. Tapi sayang, lidahnya seakan terlalu lemah untuk berbicara. Selama rapat ia lebih banyak diam dan memain mata dengan Dyah untuk mengatakan isi hatinya apakah ia setuju atau tidak dengan pendapat dari Perusahaan Mentari. Ketika ia sedang memainkan bola matanya melihat-lihat orang di dalam meeting room tersebut, pandangannya terhenti pada sepasang bola mata yang saat itu juga menatapnya. Sedetik ia terpaku. Ia pun segera menyadarinya dan langsung melakukan kegiatan lainnya untuk mengalihkan. Saat ia mencoba melihat sang pemilik sepasang bola mata tadi, sayangnya si pemilik itu sudah tidak memperhatikannya lagi. Ia sedang asik mengetik sesuatu di iPadnya. Berulang kali Kirana mencoba menatapnya kembali, tapi tatapannya tak mendapat sambutan. Ia pun lelah dan berusaha mengabaikannya.

Rapat panas selama 2,5 jam itu pun akhirnya selesai juga. Kirana sangat lelah, ia ingin segera pulang. Tapi ia mengurungkan niatnya tersebut mengingat mobilnya masih ada di kantor karena tadi ia datang ke hotel bersama Dyah. "Ah yaa laporannya" Seketika ia teringat tugas-tugasnya yang menumpuk yang sedang menunggunya di kantor. Saat keluar dari meeting room, Dyah masih sibuk mengobrol dengan salah satu petinggi Perusahaan Mentari. Kirana terlalu capek untuk terlibat dalam obrolan itu. Ia pun hanya melangkah gontai di baris paling belakang para eksekutif muda tersebut.

"Hai! Keliatannya lo capek banget" Suara itu mengejutkan Kirana yang sedari tadi terdiam memikirkan tugas-tugasnya. Seketika ia menengok ke sebelah kanannya. Pria itu tidak terlalu tinggi namun proporsional. Ia lihat mukanya, familiar. "Ah ya si pemilik bola mata itu" Pikirnya

"Hai hahaha keliatan ya?" Jawab Kirana dengan langsung membereskan dress dan rambutnya

"Adrian" Pria itu menjulurkan tangannya ke Kirana sambil memasang senyum simpul yang saat itu berhasil membuat Kirana hampir kesandung karpet koridor hotel yang kurang rapi. Tapi untungnya ia tak jadi kesandung. Dengan cepat ia memperbaiki posisinya. Karena kalau sampai tersandung, ceritanya pun akan lain. Akan menjadi FTV.

"Kirana" Kirana pun menyambut tangan Adrian dengan penuh salah tingkah.

Perkenalan itu pun berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan namun menyenangkan selama perjalanan dari meeting room ke lobby hotel. Hal ini baru pertama kalinya Kirana merasa langsung nyaman berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Kirana termasuk orang yang agak pendiam kalau baru kenal sama orang. Tapi saat itu, ia ngobrol dengan riangnya dan tertawa lepas dengan Adrian. Bagi Adrian? Ah saya tidak tau. Cerita ini saya tulis hanya dengan sudut pandang (hampir) serba tahu. Karena saya tidak tahu apa yang dirasakan Adrian. Yaa gaya penulisan ini saya baru bangun, biarkan teori berkata apa. Tapi itu faktanya.

Obrolan mereka pun berhenti sesaat ketika mereka sudah sampai di lobby dan berkumpul dengan rekanan lainnya. Kirana dan Adrian pun saling berpamitan pulang dan berpisah. Mereka berpisah dengan memasang senyum yang cukup untuk membuat selalu terngiang.

"Yaa ampun Na, gue lupa. Gue harus ke butik dulu, harus ambil dress pesanan kakak gue. Dia nitip tadi. Lo mau ga nemenin gue ke situ?" Tanya Dyah sesaat sebelum memberikan kuncinya ke vallet.

"Ah gila lo! Enggak ah, capek gue mbak. Gue naik taksi aja deh langsung ke kantor. Kasian laporan-laporan gue kesepian nyariin gue." Jawab Kirana yang senyumnya kembali menjadi datar.

"Seriusan nih? Yaudah gue ongkosin taksi lo yaa. Maaf Naa Maaf" Dyah pun merasa tak enak ke Kirana. Ia bersiap-siap mengeluarkan dompet dari hand bagnya

"Lo kira gue siapa lo sih mbak hahaha udah nyantai aja. Yaudah deh gue duluan aja yaa ke lobby sebelah sana buat naik taksi. Lama kalo nunggu vallet lo. I'm okay babe, don't worry" Jawab Kirana sambil melambaikan tangan ke Dyah dan bergegas pergi dan mengeluh "Goddammit!"

"Na, sorry yaa. Take care hun!" Jawab Dyah yang masih merasa tak enak dengan Kirana

Kirana pun sampai di lobby khusus taksi. Entah kenapa taksi disitu tinggal satu dan baru saja dinaiki oleh pria bule yang sukses buat Kirana kesal setengah mati. "Duuh males banget kalau harus keluar hotel buat cari taksi. Panas" Keluh Kirana sambil mengeluarkan iPadnya untuk menemaninya menunggu taksi.

"Kirana, belom pulang?"

"Adrian? Belum nih, nunggu taksi. Tuh liat aja kosong" Kirana langsung bangun dari duduknya dengan semangat.

"Looh nggak bareng yang lain?"

"Nggak Dri, mereka pada langsung pulang. Salah gue juga sih yang milih bareng Dyah tadi kesininya jadi mobil gue di kantor sekarang."

"Okee kalo gitu gue temenin deh"

Adrian langsung merapat duduk ke Kirana. Kalimat terakhir Adrian sukses membuat Kirana terbang. Ia bingung, itu sebuah kode atau memang hanya ingin bermaksud baik. Mereka pun kembali mengobrol dengan akrabnya. Sampai akhirnya mereka saling tahu bahwa mereka satu SMP dan cukup banyak kesamaan di antara mereka. Obrolan mereka sukses membuat orang-orang yang melewati mereka merasa iri dan kesal. Iri sekali karena mereka lebih terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang mengobrol dengan akrab dan mesranya. Kesal karena tak jarang mereka tertawa gembira dengan volume yang cukup kencang. Sesaat, Kirana lupa akan segala beban dan tugas-tugasnya. Hanya satu yang ia rasakan, ketenangan dan kesenangan. Obrolan mereka berlansung sekitar 1 jam kurang. Obrolan itu seperti tak terputus karena selalu saja ada bahan baru untuk dibincangkan, sampai akhirnya ada 2 taksi datang ke lobby tersebut.

"Waah Naa sayang banget itu taksi lo udah dateng"

"Iya nih Dri, heem anyway thanks yaa udah nemenin gue"

"My pleasure Na, hati2 yaa Kirana"

"You too"

Obrolan mereka pun terhenti begitu saja. Kirana dan Adrian saling melambaikan tangan perpisahan. Ada perasaan yang sangat menggebu-gebu di dalam diri Kirana. Ia tak mengerti apa itu. Ia hanya merasa senang dan senang, tak henti ia pikirkan Adrian dan semua obrolan yang mereka jalani. Sesampainya di ruang kerjanya, Kirana pun memutuskan untuk lembur dan tidak pulang ke rumahnya. Ia ingin lembur mengerjakan tugas-tugasnya. Tetapi, ketika ia berada di depan komputernya, bukannya laporan-laporan yang ia ketik, tapi ia justru mencari tau tentang Adrian. Sejak dulu, Kirana memang terkenal dengan jiwa keponya. Entah dari mana, ia bisa saja mencari tau mengenai silsilah pacar baru mantannya terdahulu dengan lengkapnya. Tanpa diragukan lagi, dengan hitungan menit pun Kirana mendapatkan akun-akun media socialnya Adrian.

Ada satu kalimat yang selalu ia harapkan hadir di update-an status Adrian. Ia mau Adrian merasa senang telah mengenal tau mengobrol dengan seorang wanita yang baru saja ia temui di rapat siang tadi. Tentu wanita itu adalah Kirana sendiri. Namun sayang tak ada satupun Adrian update status yang berkenaan atau menyinggung hal itu. Status-statusnya Adrian hanya tentang kerjaan dan bola. Dan juga obrolan candaan dengan teman-temannya. Ada satu statusnya yang membuat Kirana khawatir. Adrian mengobrol dengan seorang wanita cantik, berkerudung dengan selalu menyisipkan smiley :) di setiap akhir perbincangan tersebut. Kirana khawatir, walaupun ia sudah mencari tau mengenai wanita itu dan ia sadar bahwa wanita itu tak perlu ia khawatirkan, ia tetap saja khawatir.

Saat ini, sampai ceritanya ini diceritakan, Kirana tak lagi merasa bahagia dan senang akan pertemuan ketika itu. Ia justru merasa takut. Ia takut telah termakan ilusi hatinya sendiri. Ia takut telah merasa kepedean akan kebaikan hatinya Adrian. Ia takut terjatuh pada Adrian namun tidak akan mendapat balasan. Ia takut. Ia takut. Ia takut akan selalu merindu tanpa tau apa yang harus dilakukannya.

Monday, July 1, 2013

Ruang Sahabat

Ketika sapa rindu tak lagi bersambut, mulutpun terikut bisu. Hati hanya bisa bicara dan mengeluh tanpa ada satupun kata yang terucap.
Melihat matamu, mengguncang hati ini. Seakan menyeruak kata yang ingin keluar 'Aku rindu'
Kita duduk, bersisian hening. Mungkin diri ini malu atau mungkin diri ini cukup segan mengatakannya.
Tapi kita sama-sama tau, bahwa kita slaling merindu.
Aku rindu dulu. Aku rindu sayangmu hingga orang sering salah menilai di antara kita. Aku rindu amarahmu yang meneteskan air mataku. Aku rindu gelak tawamu dan candaanmu yang kadang membuatku kesal. Aku rindu.
Memang benar kata orang. Sahabat itu tak ternilai harganya. Karena mereka sangat berharga hingga tak tau harus memberikan nilai berapa. Tapi yang pasti, hati ini tau nilai yang pasti untukmu. Selalu ada ruang khusus yang telah penuh olehmu di hatiku. Sebuah ruang yang memang untuk hanya untukmu. Di ruang sahabat itu kita bertemu. Di ruang sahabat itu pula kita kembali mengingat masa kita dulu. Dan hanya di ruang sahabat itulah, kita mengucap rindu.