Saturday, February 21, 2015

Tentang Dia

Petang hari di sebuah Sabtu...

Sudah sebulan lebih rasanya aku menjalani hidup dengan hati yang begitu kosong. Separuh jiwaku berasa hilang terbenam ikut terkubur menemani berbaringnya tubuh kakunya. Tawaku, senyumku yang terlukis di bibirku bahkan tak sanggup untuk menghibur hatiku sendiri. Dada ini terus berdetak kencang tak bernada seakan memaksa nafasku terpenggal tak beraturan. Apa yang kurasa ini lebih dari sekedar sakit hati ataupun patah hati. Aku rapuh, terlalu tak mampu untuk meneguhkan diri saat orang yang begitu amat aku sayangi dan juga mencintaiku, telah tiada.

Apabila aku ditanya, kenapa begitu lemahnya diri ini, aku akan mencoba menjawabnya, dengan bercerita tentang dia.

Tak terhitung bagiku berapa novel teenlit  yang kubaca tentang romantisme. Mulai dari cinta pertama hingga cinta tak terbatas. Tapi entah kenapa aku tak pernah menemukan definisi perasaanku kepadanya di novel-novel itu. Cinta pertama-- Iya, dia adalah cinta pertamaku. Namun ia lebih dari cinta pertama. Ia adalah seseorang yang pertama kali mengajariku bagaimana untuk menyayangi dengan tulus tak mengharap balas. Seseorang yang begitu menantikan kehadiranku bahkan saat aku pun belum tau apapun tentangnya. Seseorang yang selalu siap 24 jam dalam 7 hari untuk menjagaku, melindungiku atau hanya sekedar untuk menemaniku. Tak pernah terucap sepatah alasan pun darinya apabila aku sedang memohon bantuan. Bahkan terkadang ia selalu inisiatif menyapa bertanya padaku tentang apa yang aku butuhkan.

Diriku, apabila tengah di sampingnya, seakan putri kerajaan. Bukan karena semua hal yang aku butuhkan selalu dilayani olehnya, atau juga bukan karena semua yang aku inginkan selalu dikabulkan. Aku seperti putri karena aku diperlakukan seperti putri. Aku dicintai layaknya putri yang sempurna; cantik, baik hati dan berwibawa. Aku dilindungi seperti halnya pewaris tahta yang tak boleh sama sekali lecet sesenti pun. Aku selalu dipujinya seakan putri yang telah berhasil membantu orang tuanya dalam menyelamatkan kerajaan.

Sendiri tak berarti aku dimanja. Entah apa yang telah ia doktrinkan kepadaku. Tumbuh menjadi seorang anak satu-satunya dalam keluarga yang cukup berada dan terpandang, (seolah-olah) sudah seyogyanya aku menua dengan manjaku. Nyatanya, tumbuh dengan cinta yang seluruhnya terkucurkan untukku, semua perhatian yang terjatuh padaku dan dengan seluruh pandangan mata yang tak pernah meleset sedetik pun dariku, aku justru dewasa dengan kepribadian yang serupa pula. Aku dewasa dan tak (begitu) manja. Di tengah kehidupan yang menempatkan diriku di atas roda, aku justru diajarkan untuk melihat ke bawah dan selalu membalikkan tanganku. Aku tak pernah diizinkan untuk merasa iri dengan mereka yang derajatnya melebihiku. Sebaliknya, aku selalu diajarkan untuk selalu bersyukur dan tak pernah lelah untuk berusaha lebih. Hebatnya, ketika tiba-tiba rodaku berputar begitu cepat dan memposisikan diriku di derajat terbawah sebuah lingkaran hidup, aku tak pernah merasa kasihan atas diriku sendiri. Saat itu, aku diajarkan bahwa bukan harta ataupun kekuasaan yang dapat membuat seseorang tersenyum, melainkan cinta dan kebersamaan yang dapat membuat hati seseorang nyaman dan bahagia. Bahkan, aku tak pernah diperbolehkan untuk meminta atau mengharap dari yang lain kecuali Sang Maha Pencipta. Hidup ini harus dapat dijalani secara mandiri dan jangan pernah mengharap dari orang lain atau bahkan bergantung pada orang lain, pesannya.

Dia adalah cinta pertamaku yang selalu membuatku kagum dan terpana melihatnya. Dia adalah orang yang serba bisa, dari hal sepele seperti menyisir rambutku, memasak, melakukan negosiasi dengan preman hingga pejabat, membetulkan alat-alat elektronik, memodifikasi mesin, hingga menganalisa cost and benefit dari sebuah proyek, dia bisa. Sulit sepertinya mencari orang yang bisa menggantikannya. Dia sangat pintar, terlalu amat cerdas. Itulah harta paling berharga yang ia wariskan untukku (walaupun aku ini kadang tak memanfaatkannya karena aku kadang malas). Aku memang tak pernah tau IQ-nya, tapi yang pasti nilai 143-ku ini pasti hasil karunia gen-nya. Dia adalah orang yang cepat memahami suatu hal dan beradaptasi. Dia terlalu hebat untuk dibandingkan denganku. Bahkan orang yang baru pertama kali berjumpa dengannya pun dapat langsung memuja dan mengaguminya. Dia sangat hebat.

Satu hal yang terlalu amat ku kagumi darinya adalah ia tak pernah merasa kenyang apabila orang yang dikenalnya tak kenyang. Ia sangat peduli dengan sekitarnya. Ia selalu berusaha untuk berbagi pada yang membutuhkan, Bahkan, ketika di kantongnya tak ada selembar uangpun, ia berusaha berbagi dengan canda dan tawanya. Bahagia memang untuk di sampingnya. Ia juga tidak pernah berusaha menikmati hasil kerja kerasnya untuk dirinya sendiri. Ia selalu mengutamakan orang-orang yang ia cintai, termasuk aku. Berapapun uang yang ia punya, selalu dihabiskan untuk membahagiakan orang yang ia sayangi. Tak pula ia lupa untuk disisihkan yang kemudian diberikan ke sekitarnya. Hatinya terlalu bersih. Selalu berbagi dan membantu orang yang membutuhkan, bahkan ia tak pernah sekalipun mendongakkan kepalanya. Dia mengutamakan orang yang lebih membutuhkan meski ia sebenarnya juga membutuhkan. Bahkan tak pernah mendendam apabila mereka yang telah dibantu telah lupa akan kulitnya. Ia terlalu mulia, kurasa.

Apabila mereka mengatakan bahwa cinta itu buta. Aku rasa, aku tidak pernah dibuatnya buta untuk mencintainya. Aku selalu diajarkan untuk menggunakan akal dan nalarku dalam menjalani hidup ini. Ia juga sangat mengagungkan Tuhan-nya. Aku dididik keras untuk tidak melupakan kewajibanku terhadap Sang Pelindung-ku. Apabila ku bersusah, aku diajarkan untuk selalu memohon diberi kemudahan. Apabila aku sedang diberi kesenangan, aku tak boleh lupa untuk selalu bersyukur. Apabila aku sedang di tengah kegundahan, aku harus meminta-Nya diberikan petunjuk yang terbaik. Dia sangat membenci kemusyrikan dan kemunafikan yang menghancurkan agama-nya. Dia adalah orang pertama yang akan membentakku apabila aku melalaikan kewajibanku.

Cinta tanpa perselisihan, mustahil rasanya. Kasih dan sayang antara aku dan dia begitu terasa sempurna akibat tulusnya kami dan juga kerikil-kerikil kecil yang mewarnai kisah kami. Aku dan dia tak 100% sama atau 100% berbeda. Dia memiliki sifat yang keras, begitupun denganku. Terkadang, ketika salah satu dari kami tak bisa menahan diri, pasti berujung pada ngambekkan yang justru membuat pusing bundaku. Kami saling mengadu yang padahal akan selesai begitu saja di antara kami sendiri. Adu argumen dan adu pendapat selalu mewarnai malam ketika kami menonton berita malam. Politik, hukum dan ekonomi adalah topik utama perdebatan kami. Hangat atau bahkan terkadang panas hingga butuh diredakan dengan 20 tusuk sate ayam langganannya yang selalu lewat pukul 1 pagi. Sigh, peraduan ini justru lebih memunculkan tawa apabila diingat kembali, bukan kebencian.

Terlalu banyak kisah yang ingin kubagi tentang dia. Dia, cinta pertamaku yang membuatku sulit untuk mencari pria sepadan lainnya untuk dicintai seperti halnya aku mencintainya. Dia, tauladanku yang menjadikan diriku pribadi seperti sekarang ini. Dia, orang yang akan selalu kucinta dan kukagumi, selalu ada dalam doaku, selalu kutangisi tiap aku rindu dan selalu tersimpan di hatiku meski raganya tak lagi berada di sampingku.

Dia..... Ayahku.
Selamat tidur yang tenang Yah. Dalam doaku, aku berharap semoga Allah mengizinkan kita berjumpa lagi di kedamaian dan sisi-Nya.


Salam rindu,

Anakmu.

Friday, February 20, 2015

Could I Have This Kiss Forever

By: Enrique Iglesias

Over and over I look in your eyes
you are all I desire
you have captured me
I want to hold you
I want to be close to you
I never want to let go
I wish that this night would never end
I need to know 

Could I hold you for for a lifetime
Could I look into your eyes
Could I have this night to share this night together
Could I hold you close beside me
Could I hold you for all time
Could I could I have this kiss forever
Could I could I have this kiss forever, forever

Over and over I've dreamed of this night
Now you're here by my side
You are next to me
I want to hold you and touch you taste you
And make you want no one but me
I wish that this kiss could never end
oh baby please

Could I hold you for a lifetime
Could I look into your eyes
Could I have this night to share this night together
Could I hold you close beside me
Could I hold you for all time
Could I could I have this kiss forever
Could I could I have this kiss forever, forever

I don't want any night to go by
Without you by my side
I just want all my days
Spent being next to you
Lived for just loving you
And baby, oh by the way

Could I hold you for a lifetime
Could I look into your eyes
Could I have this night to share this night together
Could I hold you close beside me
Could I hold you for all time
Could I have this kiss forever
Could I could I have this kiss forever, forever

Monday, February 9, 2015

Hampa.

Aku kira aku sudah cukup dewasa untuk bersikap. Berpikir berkali-kali dahulu sebelum bertindak.
Aku juga mengira bahwa diri ini adalah orang paling kuat. Sudah cukup besar untuk menangani semuanya, dan sudah cukup tabah menghadapi segalanya.
Sampai akhirnya kesepian ini mendorongku terisak perlahan. Tampaknya tetes hujan seperti berbalap derasnya dengan air mataku.

Aku tidak tau apa yang kurasa sebenarnya.
Yang pasti, semenjak itu, aku merasa ada yang hilang dari diri ini. Bagian dari jiwaku seperti hilang melayang bersama ruhnya.
Hampa. Hanya hampa yang kurasa.

Setiap detikku mengingatkan segala kenangan bersamanya.
Setiap jengkal langkahku mengingatkan bahwa tak mungkin kubisa melangkah begitu percaya dirinya seperti ini tanpa dirinya.

Sungguh, hujan ini seperti halnya para pemandu sorak yang membuatku terus 'semangat' untuk menangis.
Sungguh Maha Pencipta-ku, apabila ku diberikan 1000 tahun, aku ingin habiskan 1000 tahun itu bersama orang-orang yang aku cintai.
Pincang rasanya hidup tanpanya.
Terus menangis sendiri, merasakan sakit di hatiku sendiri akibat kehilangan serpihannya, dan harus berbicara sendiri karena teman berbincang-berdiskusi-bahkan berdebatku telah tiada.

---

"Yah, Ajeng janji ga akan bikin nda sedih. Ajeng bakal buat nda bangga dan bahagia liat Ajeng. Ajeng ga akan nangis di depan bunda. Ajeng janji."

Yah, janji sederhana yang sekiranya hanya 3 kalimat itu, yang saat itu aku ucapkan saat memeluk tubuh dinginmu, sungguh berat dilakukan. Aku butuh bunda saat menangis, tapi aku tidak bisa. Memang tiada anggukan atau responmu saat aku ikrarkan janji itu, tapi entah kenapa aku merasa terikat dengan janji itu.
Yah, temenin Ajeng nangis ya yah....