Thursday, August 14, 2014

Kenapa Harus Berpura-Pura?

Kemarin, ketika aku berjalan menyusuri koridor gedung tua itu, aku melihat sekumpulan anak-anak bermain dengan asyiknya. Hmm mungkin mereka berjumlah sekitar 10 orang-an. Mereka tertawa dan berlarian seakan tak peduli pada panas sinar matahari siang itu. “asik yaaa…”, seru dalam hatiku, iri.
Lama ku duduk di kursi di koridor itu yang mengarah pada anak-anak tadi. Entah kenapa teriknya matahari pukul 1 siang saat itu tak terasa begitu menyengat. Bukan karena aku duduk di dalam koridor dan tengah ikut kecipratan dinginnya AC yang berhembus sedikt keluar dari dalam ruangan di belakangku, lebih tepat karena perasaanku yang sejuk melihat asiknya anak-anak itu bermain.

“Kak! Kak! Kakak ini kakaknya siapa?” Tak lama kemudian ada anak perempuan kecil dan cantik menarik-narik bajuku dengan begitu menggemaskan.

“Kakak kok ga jawab pertanyaanku, kakak ini kakaknya siapa?” DIa tak henti menarik-narik bajuku dan menguntel-nguntelnya.

“Aku bukan kakaknya siapa-siapa, dek. Aku di sini lagi duduk aja nungguin temen kakak” Jawabku sambil senyum dan mengangkatnya untuk duduk di sebelahku. Usianya masih cukup belia, sekitar 6-7 tahun.

“Wah kakak enak dong yaa ga punya adik-adik kayak kita ini, kan kita kena penyakit yang kata orang-orang gabisa disembuhin. Kalau kakak ga punya adik kayak kita, berarti kakak ga akan sedih-sedih kayak kakakku atau juga ibuku.”

Penyakit yang kata orang-orang gabisa disembuhin…

Lama ku mencerna kalimat itu, hmm mungkinkah anak-anak itu menderita…… kanker?

“Kak tau ga”, lanjutnya, “Aku bingung deh sama orang-orang yang di sekitarku yang bilang aku ga boleh boong ke mereka. kalau aku sakit, katanya aku harus bilang sakit, gaboleh bilang ga sakit. Padahal kan, kalau aku bilang aku sakit, mereka akan sedih dan bahkan nangis. Mamiku tuh kak gampang banget nangis hehehe cengeng yaa kak ga kayak aku.” Si adik kecil ini terus menlanjutkan ceritanya tak henti sambil terus mengayunkan kakinya yang tergelantung karena tak sampai ke tanah.

Otakku tak berhenti berputar mendengarkan ceritanya. Ada apa sih ini?

“Ehiyaaa kakak namanya siapa? Namaku Kirana, kakak namanya siapa?”

“Namamu bagus yaa Kirana. Namaku Agis”

“Halo kak Agis! Seneng deh ketemu kakak, aku senang ketemu orang-orang baru soalnya hehehe” 

Kirana menyengir menunjukkan giginya yang tidak lengkap itu ke arahku. Hihi lucunya! Aku dan Kirana pun akhirnya mengobrol-ngobrol lama. Aku menceritakan cerita-cerita lucu dan juga yang berbau dongeng kepadanya. Kirana pun menaggapinya dengan sangat antusias dan selalu berkata khasnya “Waah… kok bisa ya kak?” Sampai akhirnya ada bunyi tut tut tut semacam alarm dari sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Kakak, Kirana balik dulu ke kamar yaa, kalau ada bunyi ini, Kirana harus balik dan minum obat. Dadah kakak!!!” Kirana pun langsung lompat dari kursi yang kududuki bersamanya lalu berlari riang sambil bergumam bernyanyi menghilang dari pandanganku.

---

Hmm aku jadi terpikirkan sesuatu..

Apa salahnya sih berpura-pura?

Apa salahnya Kirana pura-pura tidak sakit agar orang-orang yang ia sayangi tidak sedih?
Apa salahnya maminya Kirana pura-pura tidak menangis saat anaknya sedang merintih kesakitan saat sedang menjalani terapi?

Sepertinya, berpura-pura itu tidak sepenuhnya salah.

Lalu, apakah aku yang sering berpura-pura bahagia untuk menutupi kesedihanku juga tidak salah?

Tujuanku tak jauh dari tujuan Kirana. Aku hanya ingin melihat orang-orang sekitarku tidak merasakan kesedihan yang aku rasakan. Aku ingin seperti Kirana yang menjadi pembawa ketenangan dan kesenangan untuk orang-orang.


Jadi, kurasa tidak salah.

Monday, August 11, 2014

Aku, Kamu dan Rembulan

Selamat malam kamu yang di sana. Selamat malam kamu yang kini tengah asyik menikmati rangkaian kisahmu di alam lainnya.

Lihatkah kamu langit malam ini? Sempatkah kau tadi mengintip dari balik jendelamu sebelum kau tenggelam dalam selimutmu?
Semua insan membahas terangnya rembulan yang tengah menggantung di langit malam ini. (Mungkin) Tak ada satupun yang melewatkan untuk melihat kemilaunya salah satu anugerah Tuhan yang sedang dipamerkan oleh-Nya. Dan sebaliknya, dengan tahzim, rembulan pun memantau semua wajah pulas yang tengah tertidur -- atau menemani diri bermuka bantal--sepertiku--menghabiskan malam dengan segala angan yang terlempar.

Rembulan itu pasti puas melihat dan menilai seluruh umat malam ini. Jarang kan dia menampakkan seluruh tubuhnya sebesar itu dan bersinar begitu mengagumkan.
Rembulan barangkali hanya terdiam melihat dirimu yang sedang tertidur sambil sesekali menebak-nebak apa yang tengah kamu impikan dari raut wajahku.
Rembulan barangkali tergelak saja, melihat kekuyuan hati seseorang (diriku) yang tengah merasakan pahitnya sebuah perasaan.

Haah...

Malam ini kusibukkan diriku dengan mengulang segala kejadian yang pernah kita lalui bersama. Setiap detik yang kuingat, selalu tersematkan rasa rindu yang begitu menggebu pada memori tersebut, dan tentu pada dirimu.
Hai Sang Rembulan, bersediakah kau mengantarkan salam kasih dan rindu ini padanya di sana?

"Kalau memang sebuah perpisahan adalah awal dari sebuah pertemuan, aku sangat menantikan pertemuan itu. Iya, sebuah pertemuan (lagi) dengan (hanya satu) kamu."

Seperti yang kau lihat, aku sendiri di sini berselimutkan hembusan dinginnya malam. Adakah Sang Rembulan bersedia menemani hati yang sepi ini--menggantikanmu--hingga fajar menggantikannya?