Siang itu matahari bersinar dengan terangnya. Sangat terang bahkan. Panasnya terik, sangat menggoda iman-iman orang yang berpuasa. Sama halnya yang dirasakan Kirana. Ia juga berpuasa, tapi entah kenapa ia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya dari tadi pagi. Entah sakit karena kebanyakan makan sambel saat sahur tadi atau karena keram mau dapet. Berusaha mungkin ia mengabaikannya. Masih banyak kerjaan yang harus ia kerjakan. Panasnya bumi saat itu yang masuk melalui celah di gordyn seakan mengalahkan dinginnya ruangan Kirana. "Yaa Tuhan kapan selesainya ini semua??" Keluhnya saat melihat tumpukan kertas di mejanya yang tak kunjung habis. "Yaa ampun masih jam segini" Tambahnya sambil menepuk jidatnya saat melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 14.00 WIB.
Kirana terpaksa harus mengerjakan seluruh pekerjaan dan memastikan semua itu selesai di hari Rabu minggu depan. Ia harus mudik. Sudah bertahun-tahun ia tak mudik. Ia sangat merindukan kedua orangtuanya. Selama ini ia terpaksa hanya membayarkan ongkos kedua orangtuanya untuk ke Jakarta untuk menggantikan dirinya yang harusnya mudik. Ia sangat menyesal. Ia kesal pada dirinya, sebenarnya. Namun, harus bagaimana lagi. Ia merindukan ayah ibunya. Begitupun orang tuanya. Makadari itu, ia selalu memohon orangtuanya untuk datang 'mudik' ke Jakarta setiap menjelang lebaran untuk melepas rasa kangennya.
Sesaat Kirana melepas lelahnya di ruangannya. Tangannya pegal mengetik semua laporan itu. Ia rebahkan badannya ke senderan kursinya. Baru saja matanya tertutup sejenak, pintu ruangannya terketuk. "Kiranaa, ini gue, Dyah", terdengar suara dari luar. Sambil mengerjapkan matanya, dengan lemas Kirana membenarkan posisi kerjanya, "huft ganggu aja sih", keluhnya dengan suara pelan. "Iya mbak, masuk aja", jawab Kirana.
Wanita bernama Dyah tersebut masuk dengan suara hak sepatunya yang tingginya sekitar 12 cm. Pembawaannya anggun, ia selalu memakai dress cantik yang dipadu-padakan dengan aksesoris yang menawan. Dyah adalah senior Kirana di kantor sekaligus Kepala Divisi dimana Kirana menjadi wakilnya.
"Na, lo lagi sibuk nggak?" tanyanya sesaat ketika masuk ruangan Kirana. Suaranya terlihat sangat lelah dan terengah-engah.
"Yaa lo liat sendiri aja mbak. Kenapa sih emangnya? Tenang dulu lah, capek banget keliatannya" Kirana menjawab dengan nada heran sekaligus tak tertarik dengan obrolan pembuka yang menanyakan apakah dirinya sibuk atau tidak.
"Lo harus nemenin gue." Jawabnya "Si Riri lagi sakit jadi nggak ada yang ingetin gue kalo hari ini ada rapat penting sama partner kantor kita, makanya gue baru inget. Please temenin gue" Lanjut Dyah sambil mengipas-ngipas dirinya dengan kertas yang barus saja ia ambil dari tumpukan kerjaan Kirana.
"Mbaak, maksud lo sama perusahaannya temennya Ryan? Apa tuh Mentari ya?
"Iyaaa. Lo ngerti kan itu penting banget!!"
"Iyaiyaa gue tau itu penting. Tapi kan selama ini itu lo yang pj-in. Gue nggak masuk langsung kesitu. Gue nggak mau ah, gue takut kesalahan. Lo juga belum jelasin mengenai hal itu kan mbak ke kita-kita"
"Tenang aja Na, lo nggak usah ngomong apa-apa deh ntar di sana. Asal temenin gue aja. Gue males sendirian kalo dari Analisator. Please Naaaa" Dyah pun mengeluarkan jurus muka melasnya yang paling tidak bisa dihindari oleh Kirana
"Mbaakk ah lu mah. Yaudah iya iya, tunggu gue in 10 minutes" Kirana pun akhirnya pasrah dan menerima ajakannya
"Gue tunggu di lobby yaa. 10 minutes. Bawa juga tuh laporan dari Eurika biar jadi bandingan" Dyah pun dengan semangat jalan keluar ruangan Kirana. "Thanks ya beib" Lanjutnya sambil ketawa riang sebelum menutup pintu ruang kerja Kirana
"Huft iyeeeee" Jawab Kirana tak niat.
...
Perjalanan hari itu tidak terlalu padat. Ia dapat sampai ke hotel tempat mereka janjian dengan Mentari dalam waktu kurang dari 45 menit. "Na, lo harus pasang tampang cantik yaa. Jangan mumet kayak gitu hehe" berkata Dyah sesaat setelah mendaftarkan namannya di Vallet.
Sebenarnya tampang Kirana itu cantik. Tapi memang kalau dia sedang diam atau bengong, mukanya itu ngeselin banget, kayak orang ngajakin ribut kata orang-orang. Makanya ia selalu sebisa mungkin tersenyum dalam keadaan apapun.
Mereka pun mulai masuk ke hotel. Mereka janjian di salah satu ruang rapat sewaan hotel. Ketika mereka masuk, mereka pun disambut hangat oleh PT Mentari. Selama rapat sebenarnya Kirana sangat tertarik dengan bahasannya, namun apa daya rasa lelahnya menguasai tubuhnya. Banyak yang sebenarnya ingin ia utarakan dan perdebatkan. Tapi sayang, lidahnya seakan terlalu lemah untuk berbicara. Selama rapat ia lebih banyak diam dan memain mata dengan Dyah untuk mengatakan isi hatinya apakah ia setuju atau tidak dengan pendapat dari Perusahaan Mentari. Ketika ia sedang memainkan bola matanya melihat-lihat orang di dalam meeting room tersebut, pandangannya terhenti pada sepasang bola mata yang saat itu juga menatapnya. Sedetik ia terpaku. Ia pun segera menyadarinya dan langsung melakukan kegiatan lainnya untuk mengalihkan. Saat ia mencoba melihat sang pemilik sepasang bola mata tadi, sayangnya si pemilik itu sudah tidak memperhatikannya lagi. Ia sedang asik mengetik sesuatu di iPadnya. Berulang kali Kirana mencoba menatapnya kembali, tapi tatapannya tak mendapat sambutan. Ia pun lelah dan berusaha mengabaikannya.
Rapat panas selama 2,5 jam itu pun akhirnya selesai juga. Kirana sangat lelah, ia ingin segera pulang. Tapi ia mengurungkan niatnya tersebut mengingat mobilnya masih ada di kantor karena tadi ia datang ke hotel bersama Dyah. "Ah yaa laporannya" Seketika ia teringat tugas-tugasnya yang menumpuk yang sedang menunggunya di kantor. Saat keluar dari meeting room, Dyah masih sibuk mengobrol dengan salah satu petinggi Perusahaan Mentari. Kirana terlalu capek untuk terlibat dalam obrolan itu. Ia pun hanya melangkah gontai di baris paling belakang para eksekutif muda tersebut.
"Hai! Keliatannya lo capek banget" Suara itu mengejutkan Kirana yang sedari tadi terdiam memikirkan tugas-tugasnya. Seketika ia menengok ke sebelah kanannya. Pria itu tidak terlalu tinggi namun proporsional. Ia lihat mukanya, familiar. "Ah ya si pemilik bola mata itu" Pikirnya
"Hai hahaha keliatan ya?" Jawab Kirana dengan langsung membereskan dress dan rambutnya
"Adrian" Pria itu menjulurkan tangannya ke Kirana sambil memasang senyum simpul yang saat itu berhasil membuat Kirana hampir kesandung karpet koridor hotel yang kurang rapi. Tapi untungnya ia tak jadi kesandung. Dengan cepat ia memperbaiki posisinya. Karena kalau sampai tersandung, ceritanya pun akan lain. Akan menjadi FTV.
"Kirana" Kirana pun menyambut tangan Adrian dengan penuh salah tingkah.
Perkenalan itu pun berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan namun menyenangkan selama perjalanan dari meeting room ke lobby hotel. Hal ini baru pertama kalinya Kirana merasa langsung nyaman berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Kirana termasuk orang yang agak pendiam kalau baru kenal sama orang. Tapi saat itu, ia ngobrol dengan riangnya dan tertawa lepas dengan Adrian. Bagi Adrian? Ah saya tidak tau. Cerita ini saya tulis hanya dengan sudut pandang (hampir) serba tahu. Karena saya tidak tahu apa yang dirasakan Adrian. Yaa gaya penulisan ini saya baru bangun, biarkan teori berkata apa. Tapi itu faktanya.
Obrolan mereka pun berhenti sesaat ketika mereka sudah sampai di lobby dan berkumpul dengan rekanan lainnya. Kirana dan Adrian pun saling berpamitan pulang dan berpisah. Mereka berpisah dengan memasang senyum yang cukup untuk membuat selalu terngiang.
"Yaa ampun Na, gue lupa. Gue harus ke butik dulu, harus ambil dress pesanan kakak gue. Dia nitip tadi. Lo mau ga nemenin gue ke situ?" Tanya Dyah sesaat sebelum memberikan kuncinya ke vallet.
"Ah gila lo! Enggak ah, capek gue mbak. Gue naik taksi aja deh langsung ke kantor. Kasian laporan-laporan gue kesepian nyariin gue." Jawab Kirana yang senyumnya kembali menjadi datar.
"Seriusan nih? Yaudah gue ongkosin taksi lo yaa. Maaf Naa Maaf" Dyah pun merasa tak enak ke Kirana. Ia bersiap-siap mengeluarkan dompet dari hand bagnya
"Lo kira gue siapa lo sih mbak hahaha udah nyantai aja. Yaudah deh gue duluan aja yaa ke lobby sebelah sana buat naik taksi. Lama kalo nunggu vallet lo. I'm okay babe, don't worry" Jawab Kirana sambil melambaikan tangan ke Dyah dan bergegas pergi dan mengeluh "Goddammit!"
"Na, sorry yaa. Take care hun!" Jawab Dyah yang masih merasa tak enak dengan Kirana
Kirana pun sampai di lobby khusus taksi. Entah kenapa taksi disitu tinggal satu dan baru saja dinaiki oleh pria bule yang sukses buat Kirana kesal setengah mati. "Duuh males banget kalau harus keluar hotel buat cari taksi. Panas" Keluh Kirana sambil mengeluarkan iPadnya untuk menemaninya menunggu taksi.
"Kirana, belom pulang?"
"Adrian? Belum nih, nunggu taksi. Tuh liat aja kosong" Kirana langsung bangun dari duduknya dengan semangat.
"Looh nggak bareng yang lain?"
"Nggak Dri, mereka pada langsung pulang. Salah gue juga sih yang milih bareng Dyah tadi kesininya jadi mobil gue di kantor sekarang."
"Okee kalo gitu gue temenin deh"
Adrian langsung merapat duduk ke Kirana. Kalimat terakhir Adrian sukses membuat Kirana terbang. Ia bingung, itu sebuah kode atau memang hanya ingin bermaksud baik. Mereka pun kembali mengobrol dengan akrabnya. Sampai akhirnya mereka saling tahu bahwa mereka satu SMP dan cukup banyak kesamaan di antara mereka. Obrolan mereka sukses membuat orang-orang yang melewati mereka merasa iri dan kesal. Iri sekali karena mereka lebih terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang mengobrol dengan akrab dan mesranya. Kesal karena tak jarang mereka tertawa gembira dengan volume yang cukup kencang. Sesaat, Kirana lupa akan segala beban dan tugas-tugasnya. Hanya satu yang ia rasakan, ketenangan dan kesenangan. Obrolan mereka berlansung sekitar 1 jam kurang. Obrolan itu seperti tak terputus karena selalu saja ada bahan baru untuk dibincangkan, sampai akhirnya ada 2 taksi datang ke lobby tersebut.
"Waah Naa sayang banget itu taksi lo udah dateng"
"Iya nih Dri, heem anyway thanks yaa udah nemenin gue"
"My pleasure Na, hati2 yaa Kirana"
"You too"
Obrolan mereka pun terhenti begitu saja. Kirana dan Adrian saling melambaikan tangan perpisahan. Ada perasaan yang sangat menggebu-gebu di dalam diri Kirana. Ia tak mengerti apa itu. Ia hanya merasa senang dan senang, tak henti ia pikirkan Adrian dan semua obrolan yang mereka jalani. Sesampainya di ruang kerjanya, Kirana pun memutuskan untuk lembur dan tidak pulang ke rumahnya. Ia ingin lembur mengerjakan tugas-tugasnya. Tetapi, ketika ia berada di depan komputernya, bukannya laporan-laporan yang ia ketik, tapi ia justru mencari tau tentang Adrian. Sejak dulu, Kirana memang terkenal dengan jiwa keponya. Entah dari mana, ia bisa saja mencari tau mengenai silsilah pacar baru mantannya terdahulu dengan lengkapnya. Tanpa diragukan lagi, dengan hitungan menit pun Kirana mendapatkan akun-akun media socialnya Adrian.
Ada satu kalimat yang selalu ia harapkan hadir di update-an status Adrian. Ia mau Adrian merasa senang telah mengenal tau mengobrol dengan seorang wanita yang baru saja ia temui di rapat siang tadi. Tentu wanita itu adalah Kirana sendiri. Namun sayang tak ada satupun Adrian update status yang berkenaan atau menyinggung hal itu. Status-statusnya Adrian hanya tentang kerjaan dan bola. Dan juga obrolan candaan dengan teman-temannya. Ada satu statusnya yang membuat Kirana khawatir. Adrian mengobrol dengan seorang wanita cantik, berkerudung dengan selalu menyisipkan smiley :) di setiap akhir perbincangan tersebut. Kirana khawatir, walaupun ia sudah mencari tau mengenai wanita itu dan ia sadar bahwa wanita itu tak perlu ia khawatirkan, ia tetap saja khawatir.
Saat ini, sampai ceritanya ini diceritakan, Kirana tak lagi merasa bahagia dan senang akan pertemuan ketika itu. Ia justru merasa takut. Ia takut telah termakan ilusi hatinya sendiri. Ia takut telah merasa kepedean akan kebaikan hatinya Adrian. Ia takut terjatuh pada Adrian namun tidak akan mendapat balasan. Ia takut. Ia takut. Ia takut akan selalu merindu tanpa tau apa yang harus dilakukannya.