Monday, February 9, 2015

Hampa.

Aku kira aku sudah cukup dewasa untuk bersikap. Berpikir berkali-kali dahulu sebelum bertindak.
Aku juga mengira bahwa diri ini adalah orang paling kuat. Sudah cukup besar untuk menangani semuanya, dan sudah cukup tabah menghadapi segalanya.
Sampai akhirnya kesepian ini mendorongku terisak perlahan. Tampaknya tetes hujan seperti berbalap derasnya dengan air mataku.

Aku tidak tau apa yang kurasa sebenarnya.
Yang pasti, semenjak itu, aku merasa ada yang hilang dari diri ini. Bagian dari jiwaku seperti hilang melayang bersama ruhnya.
Hampa. Hanya hampa yang kurasa.

Setiap detikku mengingatkan segala kenangan bersamanya.
Setiap jengkal langkahku mengingatkan bahwa tak mungkin kubisa melangkah begitu percaya dirinya seperti ini tanpa dirinya.

Sungguh, hujan ini seperti halnya para pemandu sorak yang membuatku terus 'semangat' untuk menangis.
Sungguh Maha Pencipta-ku, apabila ku diberikan 1000 tahun, aku ingin habiskan 1000 tahun itu bersama orang-orang yang aku cintai.
Pincang rasanya hidup tanpanya.
Terus menangis sendiri, merasakan sakit di hatiku sendiri akibat kehilangan serpihannya, dan harus berbicara sendiri karena teman berbincang-berdiskusi-bahkan berdebatku telah tiada.

---

"Yah, Ajeng janji ga akan bikin nda sedih. Ajeng bakal buat nda bangga dan bahagia liat Ajeng. Ajeng ga akan nangis di depan bunda. Ajeng janji."

Yah, janji sederhana yang sekiranya hanya 3 kalimat itu, yang saat itu aku ucapkan saat memeluk tubuh dinginmu, sungguh berat dilakukan. Aku butuh bunda saat menangis, tapi aku tidak bisa. Memang tiada anggukan atau responmu saat aku ikrarkan janji itu, tapi entah kenapa aku merasa terikat dengan janji itu.
Yah, temenin Ajeng nangis ya yah....

Friday, December 19, 2014

Tetesan Rindu

Aku bosan.
Seharian ini aku sibuk mengurus hidupku untuk mengejar angka-angka yang kata orang, penentu hidup.
Aku lelah menatap segala simbol, angka dan sama dengan di kertas lusuh itu.
Perlahan ku alihkan pandanganku ke arah jendela
Perduli apa aku sama tugas yang baru bernomorkan 2 dari 5 itu.
Aku bosan.

Sore ini langit sedang meneteskan bulir-bulir berkahnya membasahi bumi.
Lama ku menatap jendela kamarku dan perlahan hati ini pun ikut larut bersama tetesan itu.
Tenang dan damai rasanya.

Hujan memang selalu berhasil membawa kembali kenangan terdahulu.
Bahagia, canda dan tawa.
Sedih, bimbang dan tangis.
Semua bercampur jadi satu dengan berpayungkan satu nama cinta.

Tak sulit bagiku merapalkan namamu.
Namun tak mudah untuk hatiku harus kembali bertemu bayangmu.
Bukan karena kamu yang ingin kulupakan, tapi karena senyummu yang sulit ditinggalkan.

Ketika orang berkata cinta itu tak harus memiliki.
Aku bersumpah bahwa ia telah salah memaknai cinta.
Bukan karena aku ahli membicarakan hal itu.
Tapi karena aku telah mulai menghadapinya.
Bahwa aku dan kamu mungkin tak bisa bersama, tapi aku tetap memilikimu dengan caraku.
Dan kamu, tetap bisa memiliku meski tangan kita tak lagi saling menggenggam.

Kisah kita mungkin sudah usai. Namun bukan berarti tidak ada memori yang tak bisa dikenang.
Bukan berarti pula tiada wajah yang tak pantas dirindu.

Bersama hujan yang terus membasahi bumi, ku sampaikan rinduku padamu, cinta dan kebanggaanku.

Wednesday, November 26, 2014

Kemana Rembulanku?

Langkah kecilku perlahan berubah menjadi langkah besar-besar saat aku mulai memasuki jalan setapak itu. Bukan karena malam yang semakin menunjukkan kegelapannya, bukan juga karena di sepanjang jalan tersebut ada 2-3 kumpulan muda-mudi nongkrong dan 'bermain' bersama, toh aku juga sudah sering jalan sendiri di situ malam-malam. Entahlah, gerakkan kakiku seakan diperintahkan oleh hati yang sewaktu itu berteriak ingin cepat pulang.

Kepalaku pusing tak karuan. Dinginnya malam yang terus memelukiku menambah kepeluan hati ini. Di tengah jalanku yang cepat-cepat tadi, ku dongakkan kepalaku ke atas langit. Aku hanya berharap di sana akan ada bulan yang bersinar atau bintang yang banyak berkelap-kelip. Setidaknya itu bisa menghiburku sedikit. Tapi sayang, tak ada satu bintangpun ku lihat di langit kelam itu. Bulan pun hanya berupa garis-garis bayang putih kekuningan di ujung langit sana.

Langkahku pun semakin ku paksa agar semakin lebar yang dipenuhi oleh rasa putus asa dan kecewa. Bahkan, di saat seperti ini pun, langit tak mencoba membuatku tersenyum sedikitpun. Hatiku pun ga henti-hentinya memaki,

Kemana rembulanku?

Thursday, August 14, 2014

Kenapa Harus Berpura-Pura?

Kemarin, ketika aku berjalan menyusuri koridor gedung tua itu, aku melihat sekumpulan anak-anak bermain dengan asyiknya. Hmm mungkin mereka berjumlah sekitar 10 orang-an. Mereka tertawa dan berlarian seakan tak peduli pada panas sinar matahari siang itu. “asik yaaa…”, seru dalam hatiku, iri.
Lama ku duduk di kursi di koridor itu yang mengarah pada anak-anak tadi. Entah kenapa teriknya matahari pukul 1 siang saat itu tak terasa begitu menyengat. Bukan karena aku duduk di dalam koridor dan tengah ikut kecipratan dinginnya AC yang berhembus sedikt keluar dari dalam ruangan di belakangku, lebih tepat karena perasaanku yang sejuk melihat asiknya anak-anak itu bermain.

“Kak! Kak! Kakak ini kakaknya siapa?” Tak lama kemudian ada anak perempuan kecil dan cantik menarik-narik bajuku dengan begitu menggemaskan.

“Kakak kok ga jawab pertanyaanku, kakak ini kakaknya siapa?” DIa tak henti menarik-narik bajuku dan menguntel-nguntelnya.

“Aku bukan kakaknya siapa-siapa, dek. Aku di sini lagi duduk aja nungguin temen kakak” Jawabku sambil senyum dan mengangkatnya untuk duduk di sebelahku. Usianya masih cukup belia, sekitar 6-7 tahun.

“Wah kakak enak dong yaa ga punya adik-adik kayak kita ini, kan kita kena penyakit yang kata orang-orang gabisa disembuhin. Kalau kakak ga punya adik kayak kita, berarti kakak ga akan sedih-sedih kayak kakakku atau juga ibuku.”

Penyakit yang kata orang-orang gabisa disembuhin…

Lama ku mencerna kalimat itu, hmm mungkinkah anak-anak itu menderita…… kanker?

“Kak tau ga”, lanjutnya, “Aku bingung deh sama orang-orang yang di sekitarku yang bilang aku ga boleh boong ke mereka. kalau aku sakit, katanya aku harus bilang sakit, gaboleh bilang ga sakit. Padahal kan, kalau aku bilang aku sakit, mereka akan sedih dan bahkan nangis. Mamiku tuh kak gampang banget nangis hehehe cengeng yaa kak ga kayak aku.” Si adik kecil ini terus menlanjutkan ceritanya tak henti sambil terus mengayunkan kakinya yang tergelantung karena tak sampai ke tanah.

Otakku tak berhenti berputar mendengarkan ceritanya. Ada apa sih ini?

“Ehiyaaa kakak namanya siapa? Namaku Kirana, kakak namanya siapa?”

“Namamu bagus yaa Kirana. Namaku Agis”

“Halo kak Agis! Seneng deh ketemu kakak, aku senang ketemu orang-orang baru soalnya hehehe” 

Kirana menyengir menunjukkan giginya yang tidak lengkap itu ke arahku. Hihi lucunya! Aku dan Kirana pun akhirnya mengobrol-ngobrol lama. Aku menceritakan cerita-cerita lucu dan juga yang berbau dongeng kepadanya. Kirana pun menaggapinya dengan sangat antusias dan selalu berkata khasnya “Waah… kok bisa ya kak?” Sampai akhirnya ada bunyi tut tut tut semacam alarm dari sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Kakak, Kirana balik dulu ke kamar yaa, kalau ada bunyi ini, Kirana harus balik dan minum obat. Dadah kakak!!!” Kirana pun langsung lompat dari kursi yang kududuki bersamanya lalu berlari riang sambil bergumam bernyanyi menghilang dari pandanganku.

---

Hmm aku jadi terpikirkan sesuatu..

Apa salahnya sih berpura-pura?

Apa salahnya Kirana pura-pura tidak sakit agar orang-orang yang ia sayangi tidak sedih?
Apa salahnya maminya Kirana pura-pura tidak menangis saat anaknya sedang merintih kesakitan saat sedang menjalani terapi?

Sepertinya, berpura-pura itu tidak sepenuhnya salah.

Lalu, apakah aku yang sering berpura-pura bahagia untuk menutupi kesedihanku juga tidak salah?

Tujuanku tak jauh dari tujuan Kirana. Aku hanya ingin melihat orang-orang sekitarku tidak merasakan kesedihan yang aku rasakan. Aku ingin seperti Kirana yang menjadi pembawa ketenangan dan kesenangan untuk orang-orang.


Jadi, kurasa tidak salah.

Monday, August 11, 2014

Aku, Kamu dan Rembulan

Selamat malam kamu yang di sana. Selamat malam kamu yang kini tengah asyik menikmati rangkaian kisahmu di alam lainnya.

Lihatkah kamu langit malam ini? Sempatkah kau tadi mengintip dari balik jendelamu sebelum kau tenggelam dalam selimutmu?
Semua insan membahas terangnya rembulan yang tengah menggantung di langit malam ini. (Mungkin) Tak ada satupun yang melewatkan untuk melihat kemilaunya salah satu anugerah Tuhan yang sedang dipamerkan oleh-Nya. Dan sebaliknya, dengan tahzim, rembulan pun memantau semua wajah pulas yang tengah tertidur -- atau menemani diri bermuka bantal--sepertiku--menghabiskan malam dengan segala angan yang terlempar.

Rembulan itu pasti puas melihat dan menilai seluruh umat malam ini. Jarang kan dia menampakkan seluruh tubuhnya sebesar itu dan bersinar begitu mengagumkan.
Rembulan barangkali hanya terdiam melihat dirimu yang sedang tertidur sambil sesekali menebak-nebak apa yang tengah kamu impikan dari raut wajahku.
Rembulan barangkali tergelak saja, melihat kekuyuan hati seseorang (diriku) yang tengah merasakan pahitnya sebuah perasaan.

Haah...

Malam ini kusibukkan diriku dengan mengulang segala kejadian yang pernah kita lalui bersama. Setiap detik yang kuingat, selalu tersematkan rasa rindu yang begitu menggebu pada memori tersebut, dan tentu pada dirimu.
Hai Sang Rembulan, bersediakah kau mengantarkan salam kasih dan rindu ini padanya di sana?

"Kalau memang sebuah perpisahan adalah awal dari sebuah pertemuan, aku sangat menantikan pertemuan itu. Iya, sebuah pertemuan (lagi) dengan (hanya satu) kamu."

Seperti yang kau lihat, aku sendiri di sini berselimutkan hembusan dinginnya malam. Adakah Sang Rembulan bersedia menemani hati yang sepi ini--menggantikanmu--hingga fajar menggantikannya?